A Ray of Hope

Shirley Du
Chapter #22

A Ray of Hope

Vincent benar-benar membeli piano, sehingga aku bisa memainkan instrumen River Flows in You dan Kiss the Rain dari Yiruma kapan saja aku mau. Dia memang pria sempurna buatku. Di balik sikapnya yang kadang tak acuh dan senang bermain-main, Vincent justru semakin tampan dan mempesona bagiku dalam usianya yang kian mapan.

Untung saja dia sudah nggak pernah lagi keluar malam-malam. Vincent sudah jauh berubah dibandingkan pria muda yang aku temui di klub. Aku yakin, kalau dia masih sering muncul di klub, dia pasti sudah jadi incaran gadis-gadis bodoh yang mengira hidup hanya perlu cantik supaya bisa dinikahi pengusaha tajir dan bermalas-malasan.   

“Aku senang dengar kau main piano, apalagi sambil nyanyi,” ucapnya.

Aku tersenyum dan memainkan lagu “Always Remember Us This Way” dari soundtrack film A Star is Born yang dipopulerkan oleh Lady Gaga, dan mulai bernyanyi, “That Arizona sky burning in your eyes ... You look at me and, babe, I wanna catch on fire ... It's buried in my soul like California gold ... You found the light in me that I couldn't find”

Vincent terlihat menikmatinya, dan berkata, “Suara piano memang bisa membuat perasaan tenang. Main piano juga bisa mengobati luka. Musik cocok untuk mengobati rasa kehilangan dan depresi.”

“Kata siapa!” protesku. “Banyak pemusik hebat justru bunuh diri karena depresi. Contohnya Elvis Presley dan Kurt Cobain. Belum lagi James Hendrix, gitaris jenius abad 20 yang terkenal sebagai gitaris populer sepanjang sejarah. Dia aja meninggal di umur 27 tahun karena konsumsi obat-obatan.”

“Ya, tapi kau bisa mencurahkan hati dalam musik dan lagu. Aku juga pernah baca yang ekstrim seperti Elliot Smith. Dia menusuk diri sendiri. Terus Ian Curtis yang mati karena gantung diri, dan Wendy Williams yang menembak dirinya sendiri. Depresi memang sulit disembuhkan, tetapi bisa dilatih,” ucapnya.

“Ternyata Abang tahu juga hal-hal seperti itu, ya,” ucapku. “Apa Abang pikir aku depresi?”

Vincent tersenyum. “Bukan begitu. Aku hanya suka mempelajari orang-orang yang menderita depresi, dan berusaha mencari cara supaya bisa sembuh tanpa menyakiti diri sendiri. Sayangnya, nyaris nggak ada. Depresi memang sulit disembuhkan. Mungkin kau bisa memulai dengan bicara. Bicarakan saja semua yang kau pikirkan. Sulit bukan berarti nggak bisa, kan?” tukasnya.

Jantungku jadi berdebar dan pipiku menghangat mendapat perhatian seperti ini. Sebetulnya, orang tua Vincent memiliki banyak koneksi, klien dan teman pengusaha lain yang mungkin saja bisa bekerja sama. Bahkan orangtua Vincent sendiri bisa memberinya modal kalau dia mau. Tetapi, pria itu memilih untuk melakukan segala sesuatu dengan usahanya sendiri untuk membuktikan ketulusannya kepadaku.

Vincent yang aku kenal memang orang yang sangat berhati-hati dan pintar. Dia senang bercanda dan suka memperhatikan. Sebagai penyanyi, aku juga dulu cukup profesional. Meski sedang kesal, marah, sedih, bahkan mabuk sekalipun, penampilanku nggak akan ada bedanya saat di panggung.

Aku suka menikmati musik, suka jadi sorotan, dikagumi, dan digandrungi. Aku berani bernyanyi di manapun, kapanpun, dan lagu apapun tanpa menghiraukan siapa yang menonton. Baik lagu-lagu jazz, slow, bosanova, waltz, swing, cha cha, rock, blues, rock and roll, country, reagge, klasik, hingga dangdut. Pokoknya, aku suka semua lagu.

Salah satu persamaanku dengan Vincent memang musik. Bagiku, menyanyi bisa melepaskan beban hidup. Kelihatannya, Vincent juga menikmati hidup dengan musik, sehingga bisa melupakan semua yang membebani pikirannya.

Namun, nggak semua orang bisa melakukan semua yang disukai dan menyukai semua yang dia lakukan. Itu sebabnya hanya sedikit orang yang merasa hidupnya bahagia dengan apa yang dia miliki.

Siapa yang tahu isi kepala manusia? Bahkan penulis besar Amerika, Robert E. Howard yang terkenal karena tokoh ciptaannya, Conan the Barbarian, justru memilih untuk mati dengan melompat dari gedung. Apa dia mengira dirinya sudah betul-betul berubah menjadi Conan?

Selesai bermain piano, biasanya aku menjenguk Papa untuk memastikan kalau dia nggak terganggu dengan permainanku. Wajah Papa selalu berseri saat melihat wajahku. Tahun kedua setelah Papa terkena stroke, Papa sudah nggak bisa bangun lagi dari ranjang. Dia juga sudah sulit bicara. Beberapa kali dia meminta kudapan kepadaku, namun hanya bisa berkata, “Mau mains-manis.”

Jadi, setiap hari aku memberi 1 sampai 2 kudapan, dan buah-buahan. Aku hanya ingin melihatnya tersenyum entah sampai kapan.

“Aku nggak pernah bisa mengerti apa yang ada dalam kepalamu, Ca,” bisik Vincent.

“Jangankan Abang, aku sendiri nggak tahu seperti apa isi otakku. Apa benar laki-laki punya otak tapi nggak punya hati, terus perempuan punya hati tapi nggak punya otak?”

Lihat selengkapnya