Aku mencintaimu
Benar-benar mencintaimu
Bukan seperti cara pandangmu padaku
Bahkan melebihi apapun, aku mencintaimu
Keinginanku adalah melindungimu.
Membahagiakanmu.
Membawamu keluar dari masa lalumu yang menyakitkan.
.
.
.
.
Kaki-kaki kecil itu melangkah lincah kesana kemari, sama seperti sepasang tangan mungilnya yang terampil bergerak kesana kemari pula. Ini sudah larut malam namun aroma manis roti masih menguar di ruangan ini, pun dengan suara dentingan alat-alat pendukungnya.
Raut wajahnya tak terlihat lelah, malah, senyum selalu terlukis di wajah manisnya ketika sebuah roti yang empuk berhasil dikeluarkannya dari oven.
Satu jam setelah kafe itu tutup, sosok manis berambut ikal dan bertubuh pendek itu sudah berkonsentrasi dengan kegiatan kesukaannya. Berbagai bentuk roti dengan berbagai isi rasa sudah tersusun manis di etalase ruangan depan.
.
.
.
.
Pria tampan dengan setelan jas yang sudah tidak rapi itu baru saja mematikan mesin mobilnya tepat dihalaman bangunan kecil bernuansa vintage yang bertuliskan "Aozora bread and coffee". Pria itu melepas jasnya, melonggarkan dasinya, dan keluar dari mobilnya. Memasuki bangunan tersebut, meskipun label di pintu menunjukkan tulisan tutup, pria itu terlihat telah terbiasa.
Langkah kaki panjangnya menyusuri ruangan penuh meja yang telah rapi, ruangan itu redup karena sebagian lampu telah dimatikan, hidung mancungnya menghirup aroma manis yang menguar di seluruh ruangan. Pria itu tersenyum, menampakkan lesung pipit manisnya ketika mata tajamnya menangkap sosok mungil yang serius di dapur.
"Masih belum selesai, Kak?" Tanyanya setelah memasuki dapur. Mengalihkan perhatian simungil di hadapannya.
"Ah, Evan! Kau sudah pulang?" Pria yang dipanggil Evan itu tersenyum tampan. Berjalan mendekat dan mencium pipi tembam itu pelan. Pergerakan Soraya berhenti sebentar, namun sedetik kemudian kembali dilanjutkan.
"Kau terlalu serius, Kak Sora, sampai tak sadar aku sudah sampai." Jawabnya. Soraya terkekeh dan melanjutkan kegiatannya.
"Bahkan kau tidak mengunci pintu depan, ceroboh sekali." Lanjutnya sambil mengusap corengan terigu di pipi wanita mungil itu.
"Hehe, aku tidak sabar mengolah resep baruku, Van" Jawab simanis itu sambil menguleni adonan.
Evan tersenyum melihatnya. Maniknya menatap jajaran hasil harya Soraya di meja. Tangannya mengambil sebuah cookies coklat kecil di loyang yang sudah mendingin dan melahapnya, merasakan manisnya coklat melebur di lidahnya. Ia menelan dengan puas, kue buatan 'kakak'nya itu memang yang terbaik.
"Ah, aku menyiapkan roti kesukaanmu, makanlah dulu sambil menungguku selesai, ah, iya! Aku akan buatkan kopi juga. Ehehe." Celoteh Soraya sambil mendorong Evan duduk di kursi depan kasir. Entahlah, rasanya sangat canggung.
Evan duduk di meja yang biasanya dia gunakan ketika datang ke tempat ini, memandangi Sora yang sedang menyiapkan kopinya. Tak lama, kopi dan roti pisang kesukaannya sudah tersaji di hadapannya. Makanan kesukaannya, yang dibuat oleh Sora.
"Makanlah dulu, hanya satu adonan yang akan dibakar setelah itu kita pulang." Ucap Sora seraya tersenyum. Si tampan mengangguk seraya mengucap terimakasih kemudian memulai night snack rutinnya.
Makanan buatan Sora selalu menjadi favoritnya, ia yang tidak terlalu menyukai makanan manis, namun pengecualian jika makanan itu buatan Sora. Evan memakannya santai sambil menyaksikan sosok mungil yang kembali berkutat dengan roti-rotinya.
Kegiatan rutin itu dilakukan setiap hari, Evan yang selalu menjemput Sora di kafenya segera setelah ia pulang kerja, begitupun Sora yang menunggu Evan menjemputnya sambil mengeksekusi roti-rotinya.
Namun, kali ini rasanya tidak nyaman. Mereka canggung satu sama lain.
.
.
.
.
Mobil itu berhenti di sebuah rumah kecil di dalam komplek. Evan keluar dari sana dan membukakan pintu untuk Sora.
"Terimakasih telah menjemputku seperti biasa, Evan."
"Bukan masalah. Itu sudah kebiasaanku." Jawab Evan sambil menyerahkan tas simungil.
"Kalau begitu pulanglah, beristirahat. Hati-hati di jalan." Ucap Sora sambil berbalik menuju rumahnya.
"Kak..." panggil Evan memecah keheningan.
Sora yang hendak membuka gerbang kayu rumahya, berbalik menatap pria tampan itu.
"Kau.. tidak akan merubah keputusanmu?" Tanya Evan.
Sora menghela nafas berat. Ia tahu keputusan apa yang dimaksud Evan.
"Kita sudah selesai membicarakan ini, Evan. Kumohon... " Jawab Sora mengeluh.
"Pulanglah.." lanjutnya sambil membuka gerbang kayu rumahnya dan masuk. Evan memperhatikan wanita mungil itu sampai dia menghilang di balik pintu rumahnya.
Pria tampan berahang tegas itu kemudian kembali memasuki mobilnya. Memandang sebentar ke arah rumah kecil itu sekali lagi. Tangan kokohnya merogoh kantong jasnya mengambil sesuatu di sana.
"Sesulit inikah mendapatkamu, Kak..?" Gumamnya pelan. Matanya menatap sebuah benda kecil di tanganya. Sebuah kotak bening beralaskan beludru merah yang terdapat sebuah cincin perak cantik di atasnya.
.
.
.
.
Kecanggungan diantara mereka dimulai satu minggu lalu. Sebelumnya mereka adalah sepasang teman dekat yang selalu bersama tak terpisahkan. Evan yang tegas namun manja, Sora si lembut yang selalu mengurusnya. Bagi wanita itu, Evan adalah adik kecil yang selalu mengikutinya dan selalu ingin dibuatkan roti pisang kesukaannya. Hal itu juga yang membuat Sora mencoba peruntungannya dengan bisnis kuliner.
Namun tak ada yang tau jika sesuatu mulai tumbuh di antara mereka. Tanpa di ketahui, sang 'adik' mulai menyimpan perasaan lain pada 'kakak'nya itu. Perasaan itu telah lama dirasakan, namun tetap Evan pendam. Hingga pada akhirnya entah bagaimana Evan menyodorkan sebuah cincin, mengajak Sora menikah.
Sora sempat terdiam, shock. Dan Evan ditolak mentah-mentah.
Hati Evan sakit, sangat. Dia menyadari bahwa hanya dia yang punya perasaan lebih untuk Sora. Namun tidak bagi wanita itu.
Sejak itu kecanggungan mulai mengisi hari-hari mereka.