A Slice of Love

Nenden Nurpuji Hasanah
Chapter #5

Banana Bread (2)

.

.

.

.

Lingkaran perak berkilau itu dibolak-balikkannya, dilihat diamati digenggam sejak tadi. Jari-jari lentik itu tak hentinya menggerakan cincin berwarna perak itu. Begitupun mata bulat beningnya yang terfokus mengamatinya.

Sora menghela nafas. Setelah kejadian di rumah sakit tempo hari, Evan memaksa Sora untuk menyimpan cincin itu. Meskipun Sora menolaknya, namun pria itu bersikeras ingin Sora menyimpan cincin itu, diterima atau tidak.

Setelah kejadian itu pula, Sora kembali bertarung dengan perasaannya. Sikap Evan masih sama seperti dulu, hangat, peduli, dan melindungi. Namun, Sora justru merasa canggung, bahkan tidak jarang wanita mungil itu dengan sengaja menghindari tatapan dan sentuhan Evan yang biasanya.

Sora kemudian berbaring di kasurnya. Kembali menarik selimut membungkus tubuhnya. Disimpannya cincin itu kembali ke tempatnya di atas nakas.

Mata cantik itu terpejam, merasakan sesak teramat ketika harus kembali memutuskan perasaannya. Soraya mencintai Evan, sangat. Namun entahlah, rasanya masih berat menerima Evan untuk serius bersamanya.

.

.

.

.

"Roti pisang dan americano." Sora menulis pesanan pelanggan di meja order tanpa melihat siapa sipemesan.

"Dan Soraya." Lanjut si pemesan. Sora mendongak, menemukan seraut wajah tampan dengan rahang tegas tersenyum manis memperlihatkan lesung pipitnya.

Sora tersenyum, melirik jam dan benar saja, sudah masuk jam makan siang. Pantas Evan bisa datang ke kafe.

"Duduklah dulu, akan kuantarkan pesananmu." Evan mengangguk. Tidak lama ia berjalan menuju meja paling ujung tepat di tepi jendela. Evan membuka ponselnya dan berseluncur di dunia maya, melihat salah satu unggahan foto yang disukai Soraya, itu adalah unggahan Deana.

"Ah.. si dokter hewan yang mirip bocah itu sudah jadian dengan si polisi yang suka diceritakannya?" Komentarnya. Lesung pipit itu muncul lagi, kemudian ia menekan suka pada foto itu.

"Ku harap akupun akan berhasil meresmikan kami." Gumamnya pelan.

"Berhentilah senyum-senyum sendiri. Aku tidak mau pelangganku kabur karena mengira ada orang gila di kafeku." Kalimat itu mengalihkan perhatian Evan. Ia mendapati Sora datang dengan nampan berisi pesanannya.

"Duduklah, Kak. Kau belum istirahat kan?" Ajak Evan, diindahkan oleh Sora dengan duduk di hadapannya.

Evan memulai makan siangnya. Seperti biasa dan selalu, roti pisang kesukaannya. Pria tampan itu makan dengan lahap, tanpa sadar Sora tersenyum melihatnya. Dia senang ketika Evan makan dengan baik.

"Rotimu sedikit berbeda, Kak. Rasanya lebih manis dari biasanya." Ucap Evan membuat Sora terkejut.

"Benarkah? Padahal aku tidak merubah resepnya sedikitpun.." gumannya.

"Ini lebih manis." Lanjut Evan sambil mengunyahnya. "Karena aku ditemani orang manis di hadapanku." Lanjutnya lagi membuat Sora merengut dan memukul brutal lengan Evan.

Evan terkekeh apalagi setelah menyadari ada rona merah di pipi kakak kesayangannya. Sora cemberut sambil melipat tangannya di dada. Evan acuh dan melanjutkan makan siangnya lagi.

Namun sesuatu membuat hati Evan berdebar. Darahnya tiba-tiba berdesir cepat.

Soraya memakai cincin itu.

.

.

.

.

Evan dan Soraya kembali ke rutinitas dan kebiasaan mereka. Evan yang selalu mengantar dan menjemput Sora, dan Sora yang selalu mengurus Evan. Tidak ada diantara mereka yang membahas tentang cincin atau lamaran Evan sebelumnya. Bagi pria itu, bisa bersama dengan Sora saja ia sudah sangat bahagia. Bisa melihatnya, memperhatikannya, menikmati senyumnya, Evan sudah sangat bersyukur.

Malam ini seperti biasa Evan mengantar Sora pulang, sedikit larut dari biasanya karena wanita mungil itu memanggang lebih banyak roti untuk esok hari. Evan menghentikan laju mobilnya karena macet, ia menengok ke sekitar barisan mobil-mobil yang cukup panjang.

Gerimis mulai turun perlahan, namun macet ini terlihat belum juga terurai. Entah ada apa di depan sana.

Lihat selengkapnya