A Slice of Love

Nenden Nurpuji Hasanah
Chapter #10

In My Sleep (1)

.

.

.

.

.

Nuansa hijau mendominasi tempat terbuka ini. Udara segar dan hembusan angin pekan menggerakkan dahan-dahan pepohonan menimbulkan suara gesekan dedaunan yang menenangkan. Sepasang kaki jenjang melangkah pelan, mendekati sesosok gadis dengan kaus panjang besar terduduk dengan serius dengan notebook dan ballpointnya. 

Sesosok gadis manis itu mendongakkan kepalanya ketika mendapati sebuah tangan terbuka mengarah kearahnya. Dialihkannya konsentrasi dari buku catatannya dan menatap sosok dihadapannya itu.

"Siapa kau?" Tanyanya pelan, masih menatap lelaki tinggi dengan tatapan tajam yang masih mengulurkan tangannya.

"Namaku Andara. Ikutlah denganku." Jawab lelaki tatapan tajam itu pelan.

Si gadis manis masih terdiam dan menatap lekat pria di hadapannya. Sedangkan objeknya kemudian mengukirkan senyum tampan bersamaan dengan hembusan angin menggerakan rambut mereka.

"A..aku.."

"Ikutlah denganku, Danisa." Tegas lelaki itu.

Si manis sedikit membulatkan mata cantiknya. Mengapa orang asing ini tahu namanya?

Dengan perlahan entah dorongan dari mana, tangan itu perlahan terangkat menyambut uluran tangan besar di hadapannya. Tanpa paksaan, mengalir mengikuti keinginan hatinya.

.

.

.

.

Dering suara alarm menggema di ruangan gelap itu. Sepasang mata cantik mengedip pelan memaksa otaknya memusatkan konsentrasi pada korneanya. Ruang gelap dengan sedikit bias cahaya dibalik gorden putih. Tangan kurus itu mengusap wajahnya pelan, didudukannya tubuh itu perlahan

"Mimpi apa itu tadi...?" Gumamnya pelan.

.

.

.

"Danisa, kau terlambat." Sapa seorang gadis imut di sebuah ruang besar penuh dengan kaca sekelilingnya. Si manis yang dipanggil Danisa itu tersenyum singkat segera melepas jaket dan menyimpan tasnya.

"Kau sudah lama, Maya?" Tanyanya.

"Begitulah, aku sudah satu kali pemanasan." Jawab gadis sipit imut dengan training suit itu.

"Oke. Aku akan pemanasan." Kemudian si pemilik mata bulat berbinar itu mulai berhadapan dengan kaca besar ruangan, menyalakan musik dan menggerakan tubuhnya.

.

.

.

Beginilah Danisa mengisi harinya, di sebuah dance studio umum di tengah kota bergabung dengan sebuah komunitas. Semenjak memutuskan kontrak dengan agensi hiburan yang menaunginya dan terikat hutang yang harus ia bayar atas pemutusan kontrak sepihaknya, Danisa tetap tidak melepaskan kecintaannya akan seni.

Tubuh ramping itu meliuk mengikuti debuman lagu kesukaannya saat ia bisa mengikuti arah musik membawa tubuhnya bergerak, ia dapat sejenak melupakan segala permasalahan yang ia emban.

Musik berhenti dan si manis itu menyadari jumlah orang dalam ruangan itu bertambah. Remaja-remaja yang tergabung dalam studio itu membungkukkan tubuhnya memberi salam pada Danisa, dibalas senyum dengan nafas memburu.

Gadis itu mengambil handuk dalam tasnya dan mengusap keringatnya. Kemudian mengambil tempat duduk dan menyaksikan anggota studio mulai berlatih rutin seperti biasa.

Tenggorokan itu bergerak ketika si manis itu menelan rakus air yang ia minum, membiarkan beberapa tetes melewati lehernya. Mata cantik itu terpejam singkat merasakan dadanya memburu karena kelelahan. Dibiarkannya kepala itu bersandar nyaman.

"Danisa..."

Mata itu tiba-tiba terbuka, melirik ke sekitar mencari suara yang memanggilnya. Namun yang ia saksikan hanyalah suara debuman musik dan anggota studi yang masih berlatih. Danisa menarik napas pelan.

'Suara itu sama seperti di mimpinya...'

.

.

.

Gadis cantik itu berjalan seraya mengeratkan jaketnya, langkah kaki itu berbelok masuk ke dalam pintu kaca sebuah mini market. Kaki-kakinya membawanya menyusuri beberapa rak dan mengambil beberapa produk yang ia butuhkan.

"Hari ini kau pulang sore?" Tanya kasir hangat, sepertinya sudah akrab.

"Ya paman, aku lelah dan ingin di rumah saja." Jawab Danisa tersenyum.

"Baguslah, kau harus ingat akan badanmu sendiri. Jangan bekerja terlalu keras." Ucap paman itu perhatian. 

"Em.. paman.. apa kau pernah bermimpi aneh?" Tanya Danisa setelah menerima sekantong belanjaannya.

"Bukankah semua mimpi dalam tidur itu aneh, nak? Semuanya tidak masuk akal.." jawab pria paruh baya itu sambil terkekeh pelan.

"Kenapa? Kau mengalami mimpi aneh?" Lanjutnya kemudian.

Danisa tersenyum, benar, itu semua hanya mimpi dan bukan sesuatu yang harus ia pikirkan. Kemudian ia menggeleng dan berpamit untuk kembali ke tempat tinggalnya.

.

.

.

"Kau menulis lagi?"

Danisa mendongakan kepalanya dari buku catatannya. Mata cantiknya bertemu lagi dengan sepasang mata tajam yang kemarin ditemuinya.

"Siapa kau?" Tanyanya.

"Namaku Andara." Danisa terdiam. Matanya menatap sekeliling, ia sedang duduk di sebuah ayunan kayu yang berada di tepi danau besar. 

"Kenapa kau disini?" Tanya Danisa.

"Kau yang memanggilku kemari." Jawab pria itu, mengambil tempat duduk di samping Danisa. Dahi si gadis berkerut, ia tidak pernah mengenal pria ini bagaimana mungkin ia memanggilnya.

"Aku bahkan tidak mengenalmu." Danisa kembali menuliskan sesuatu di buku catatannya.

Tercipta keheningan setelahnya. Danisa tidak berniat mengusir pria itu selama ia tidak mengganggunya. Anggara melirik buku itu dan melihat sebuah kata-kata yang dirangkai sedemikian rupa, mungkin itu sebuah lagu.

Mata tajam itu beralih menatap wajah gadis disampingnya, rambut pendek tebal yang hampir menutupi mata cantiknya, bulu mata lebat dan lentik, bibir merona, namun raut itu tidak menunjukan kebahagiaan. Mata cantik itu kehilangan binarnya.

Tangan Andara dengan lembut meraih tubuh itu, memeluknya erat.

"H..hei! Apa yang kau lakukan?!" Tubuh dalam pelukannya itu bergerak melepaskan diri. 

Andara mengusap punggung rapuh itu, dan pergerakan kasar itu perlahan mereda.

Lihat selengkapnya