.
.
.
.
.
Tangan itu mengusap helai demi helai rambut halus itu, mengusap dengan lembut agar si pemilik rambut yang tengah bersandar di dadanya itu tidak terbangun. Diciumnya kening si manis di pelukannya, mata tajamnya terpejam, merasakan hembusan lembut angin pagi. Ia kembali menyamankan posisi tidur sosok yang tertidur di pelukannya itu, kian membawa tubuh kurus itu semakin dilingkupi pelukan hangatnya.
"Aku sangat mencintaimu, Danisa." Bisiknya kemudian mengecup bibir tebal Danisa pelan.
Mata dengan bingkai bulumata cantik itu terbuka perlahan, merasakan kecupan lembut di bibirnya, dibalasnyalaah kecupan itu pelan. Tangannya perlahan melingkari leher sang si tampan dan dibalas pelukan yang kian erat.
'Aku tidak akan membiarkanmu sendiri..'
.
.
.
.
.
Danisa dengan lemah bergelung di pelukannya, bersandar di dada bidang itu dengan nyaman, dada favoritnya, yang dapat membuatnya merasa aman, ia merasa terlindungi dengan pelukan Andara.
Danisa kian merasa nyaman, hanya dalam pelukan Andara ia merasa lega, bebas, nyaman, tanpa dihantui ketakutan, tanpa mendapat komentar-komentar kasar, dan hanya dengan Andara, ia mendapat perlindungan.
Danisa tidak ingin kembali.
.
.
.
.
.
.
Maya duduk resah di sebuah kursi panjang di depan sebuah ruangan bertuliskan 'emergency'. Tangannya terkatup rapat, dahinya berkerut,matanya terpejam, bibirnya tak henti memanjatkan doa.
Maya menemukan Danisa di apartemen kecilnya dalam keadaan tertidur, namun tubuhnya mendingin dan sangat pucat lemas, apartemennya pun dingin, entah berapa lama tidak terkena sinar matahari.
Sudah hampir seminggu Maya tidak bertemu Danisa, selama itu pula pemilik mata bulat berbinar itu tidak terlihat datang ke studio, ponselnya pun sulit dihubungi. Sampai Maya memutuskan untuk datang ke apartemen sahabatnya itu.
Panik langsung menyerang melihat keadaan Danisa, Maya buru-buru membawanya ke rumah sakit dan menunggu di sini sendirian.
Ia mulai khawatir sejak Danisa dengan ceria menceritakan tentang lelaki di mimpinya. Gadis itu memang terlihat bahagia, terlihat ceria ketika menceritakan lelaki bernama Andara itu. Sudah lama Maya tidak melihan ekspresi itu di wajah Danisa.
Namun yang ditakutkan telah terjadi. Danisa enggan terbangun dari mimpinya.
.
.
.
Alam bawah sadar mengambil alih kesadaran Danisa, dimana ia telah tidak kuat menghadapi segala masalah yang dihadapi. Kelemahan itu menimbulkan rasa takut yang sangat parah di dalam dirinya, sehingga menimbulkan alam bawah sadarnya menciptakan sebuah halusinasi, di mana Danisa merasa dapat meminta perlindungan.
Andara adalah tempat dimana Danisa dapat melepaskan segala kerisauanya, dan itu membuat Danisa merasa nyaman, dan enggan kembali.
Alam bawah sadar itu mengambil alih dunianya, menempatkan Danisa di tempat yang selalu ia dambakan, menjauh dari segala ketakutan dan tekanan yang ia alami.
Danisa benar-benar enggan kembali.
.
.
.
Nafas gadis cantik itu berhembus teratur, terlihat tenang dan nyaman, tertidur pulas dalam mimpi indah, senyuman itu terlukis di wajah cantiknya meskipun pucat pasi. Tangan kurusnya tersemat selang infus, menggantikan nutrisi makanan yang selama itu sama sekali tidak masuk ke tubuhnya. Maya tak kuasa menahan tangisnya, ia merasa sangat prihatin. Apa yang dialami Danisa telah separah ini.
"Danisa.. kau bermimpi indah? Mimpimu indah sekali sepertinya..." gumam Maya menahan isak tangisnya menyaksikan senyum Danisa dalam tidurnya.
"Danisa.. seberat itukah kau rasakan? Kau bahagia di mimpimu?" Isaknya sambil mengusap rambut sahabatnya pelan.
"Bangunlah, Danisa.. bangunlah.. aku yakin kau bisa menghadapi ini semua..." isakan itu terus berlanjut kian memilu.
.
.
.
Danisa mendongak menatap Andara bersamaan dengan tangannya yang digenggam kian erat. Gadis itu tersenyum manis membuat Andara tak tahan untuk mengecupnya. Deburan ombak pantai menyapu kaki-kaki mereka. Telapak kaki mereka dimanjakan pasir halus pantai itu.
"Orang lain bisa lihat.." bisik Danisa seraya mendorong dada bidang Andara.
Andara terkekeh kemudian meraih pinggang Danisa mendekat ke tubuhnya.
"Hanya ada kita berdua disini, sayang.." jawab Andara kemudian mengecup rambut halus si gadis pelan.
Kedua sejoli itu berpelukan erat, membiarkan semilir angin menyapa kulit-kulit mereka, menggerakan rambut mereka, membiarkan ombak kembali menyapa kaki-kaki mereka.
Detak jantung mereka saling bersahutan, menyampaikan perasaan masing-masing, membuktikan kenyamanan yang mereka rasakan.
"Danisa..." panggil Andara setelah keheningan yang nyaman cukup lama.
Si gadis mendongak menatap wajah sang terkasih, ada ekspresi yang tak dapat digambarkan di wajah tampannya.
"Hmm?" Tanya Danisa kemudian.
"Kau bahagia?" Tanya si tampan itu lembut.
Danisa tersenyum lebar, membuat pipinya kian bulat merona, menambah kesan cantik di wajah itu. Mau tidak mau membuat Andara ikut tersenyum.
"Aku sangat bahagia.." jawabnya ceria, penuh ketulusan.
Andara tersenyum lembut, namun sejurus kemudian sebuah perasaan waswas singgah di hatinya.