A Slice of Love

Nenden Nurpuji Hasanah
Chapter #12

Whenever U Are

.

.

.

.

.

KLING!

Lonceng kecil di atas pintu kaca berbingkai kayu berwarna putih itu berbunyi ketika dibuka, siapa sangka, pintu bergaya vintage yang terletak di ujung lorong gang itu adalah jalan masuk ke sebuah ruangan penuh dengan rak-rak kayu berwarna terang yang penuh dengan deretan buku-buku komik yang berjajar memenuhi ruangan.

Begitu kau melewati pintu itu, kau akan langsung menemukan meja pemesanan dan rak-rak buku besar dengan beberapa meja dan kursi di sekitarnya.

Gadis imut itu baru saja melepas jaketnya dan menyimpannya di rak penitipan barang, mengambil ponsel dan segera mengurus keperluan sewa komiknya yang rutin ia lakukan.

"Maaf, tapi komik ini belum tersedia disini.."

"Ah, begitukah? Padahal aku ingin sekali membacanya, ah tak apa, aku bisa baca yang lain.." jawabnya, senyum itu merekah ketika ia menyerahkan kartu membernya.

Pemilik senyum lebar itu beranjak menuju ruangan tempatnya biasa membaca di sini, sebuah ruangan kecil yang terpisah dengan ruangan utama, namun dengan desain interior yang sama, dengan tambahan sebuah sofa besar di dalamnya, langsung menghadap jendela kaca besar di sampingnya.

Liana selalu menyempatkan waktunya untuk mampir ke tempat ini, menurutnya, di sinilah tempat di mana ia melepas penat diantara segala kegiatan hariannya. Kuliah, mengikuti dance class di studio umum, dan sesekali sampingan menjadi back up dancer di berbagai acara untuk menghasilkan uang. Di sinilah ia bisa melepas segala lelahnya, sebelum pulang dan beristirahat di kostnya.

Ruangan itu sunyi, jendela menghadap luar memperlihatkan keadaan hujan petang itu, namun suasana di dalam sangat sepi, sangat nyaman, cukup nyaman sampai membuat Liana pulas, tertidur terkulai di bahu sofa itu dengan buku komik di genggamannya. Nafasnya teratur, kelelahan terlihat jelas di raut wajah imutnya.

Pintu ruangan kecil itu terbuka, tampak sesosok pria tinggi berwajah datar berambut hitam legam mendapati Liana tertidur pulas. Bukan yang pertama kali, namun sudah menjadi kebiasaan pelanggan satu ini ia temukan tertidur. Dihampirinya gadis itu, dengan lembut diambilnya buku komik yang ada di genggaman tangan itu, dirapikan di meja dengan komik lain.

Diraihnya selimut yang memang selalu disimpan di sofa ruangan khusus ini, tenggelamlah tubuh Liana di balik selimut hangat itu, bergerak sedikit mencari kenyamanan.

"Beristirahatlah, Liana.." Bisiknya singkat, diusapnya rambut lembut Liana sebelum beranjak dari ruangan itu.

.

.

.

.

.

"Semalam aku ke kost-mu tapi kau tak disana? Kemana?" Junia bertanya setelah menelan makanannya.

"Hhh.. aku ketiduran lagi di kafe komik.." gumam Liana.

"Sudah berapa kali? Bisa-bisa kau pindah kost kesana. Hahahhaa." Tawa Junia berakhir batuk karena tersedak. Diiringi tawa dari dua gadis lain yang menyimak komentar Junia.

"Tapi aku selalu bangun dalam keadaan diselimuti, ugh mungkinkah ada pangeran tampan yang menyelimuti aku tiap aku tertidur?" Sebuah tangan ringan memdarat di rambut Liana.

"Kebanyakan baca komik! Ngayal melulu kan. Itu pasti kau sendiri yang menarik selimut!" Sungut Junia.

Gelak tawa terdengar lagi di meja itu, kantin kecil di sebelah gedung studio dance mereka. Keempat gadis itu sedang mengambil break sebelum melanjutkan latihan dance untuk mengisi suatu acara di mall kota, mencari penghasilan di tengah-tengah kesibukan kuliah. 

.

.

.

.

"Ah.. bagaimana ini, Liana aku harus pulang lebih dulu hari ini, tak apa?" Gadis imut pemilik bibir tebal itu tersenyum dan mengangguk, ia tahu Junia harus pulang lebih dulu untuk mengurus neneknya hari ini.

"Tak masalah, aku juga akan mampir dulu ke kafe komik." Jawabnya.

"Jangan sampai ketiduran lagi di sana, kau harus pulang dan tidak telat kelas lagi besok." Pesan Junia peduli.

"Oki doki, kakak Juniaa!" Jawab Liana membuat Junia terbahak.

"Rasanya aneh kau memanggilku kakak. Baiklah, aku duluan!" Junia menghilang di balik pintu studio, lanjut merapikan barang-barangnya kemudian hendak beranjak sebelum sebuah notifikasi muncul di ponselnya.

"Waah, komik yang kumau sudah adaaa." Hebohnya menerima notifikasi keanggotaan kafe komik favoritnya.

Gadis imut itu melirik jam di dinding studio, masih petang, mungkin mampir sebentar membaca satu buku, dan bisa pulang ketika jam tidur.

.

.

.

.

.

.

Sofa berwarna biru gelap di ruangan khusus kembali ia duduki, kali ini dengan selimut yang menyelimuti kakinya. Hujan mengguyur setibanya ia di perpustakaan komik, dan udara terasa cukup dingin, segelas teh hangat terhidang di meja ruangan itu.

Tidak banyak orang di kafe komik, membuat suasananya yang sunyi semakin sunyi.

Seperti yang sudah diperkirakan, buku komik itu terjatuh dengan tak elitnya di lantai kayu ruangan itu, dengan sebuah tangan menggantung di atasnya, wajah si imut itu terkulai miring tak tertahan di sandaran sofa. Ya, Liana kembali tertidur, bahkan belum setengah buku komik ia baca.

.

.

.

Merasakan pergerakan, mata kecil itu terbuka pelan, membuat seseorang yang tengah menaikkan selimut Liana agar menutupi seluruh tubuhnya terkejut. Wajah stoic-nya melongo, kaget dengan terbangunnya Liana secara tiba-tiba.

Dengan cepat, orang itu mencoba segera meninggalkan ruangan ini sebelum Liana menyadari keberadaannya.

"Banyu?" Tanya Huaiwei.

Pria itu menahan nafasnya, terlambat.

"Sedang apa kau di sini?" Tanya Liana yang sudah menegakkan duduknya dan mengambil komik yang terjatuh tadi, tidak lupa mengecek sekitar bibirnya, khawatir ada lelehan cairan mulut di sana.

"Tentu saja membaca komik, apalagi? Tapi sepertinya tidak jadi karena seseorang merubah tempat baca menjadi tempat tidur!" Ucap pria itu dengan suara rendahnya, membelakangi Liana dan mengambil beberapa komik dari rak di hadapan sofa.

"Aku hanya ketiduran, Banyu!" Sungut Liana.

"Tidur itu di rumahmu! Sekarang jangan berisik! Aku mau membaca dengan tenang.. " Banyu mengambil tempat duduk di sofa samping Liana, menyilangkan kakinya, menyeruput sedikit teh hangatnya. Jika orang lain yang melihat mungkin menganggap lelaki ini model karena postur dan parasnya yang cukup bagus. Namun rasanya itu tidak berlaku pada gadis di sebelah Banyu yang memutar matanya malas.

Liana sebal, ia sangat sebal pada rekan satu jurusannya ini, pada awalnya ia suka sekali mengganggu Banyu, namun sepertinya sekarang lelaki itu yang berganti sering mengganggunya. Memang sepertinya karma itu ada.

Liana masih sewot, tambah sewot ketika menyadari teh hangatnya sudah mendingin. Kesal tingkat dewanya dewa.

"Oh GOSH LIANA! Bisakah berhenti bergerak? Mengganggu sekali!" Banyu kesal, manusia imut sebelahnya ini terlalu banyak bergerak.

"Kenapa tidak kau saja pergi dari sini! Di luar lebih tenang!" Sewotnya.

"Kau pikir kau siapa? Aku juga member langganan di sini dan berhak memakai ruangan ini!" Balas Banyu.

"Iisshhh!! Seball! Aku pulang saja! Aku benci Banyu, Banyu apaan! Mestinya nama Banyu itu bikin adem, tapi ini tidaaaak!" Gerutu Liana dan beranjak dari ruangan itu.

.

.

.

.

Dengan kesal kaki-kaki kurus itu berjalan menyusuri trotoar lembab itu, masih jam 8 malam namun jalanan cukup sepi. Bibir tebalnya tak henti menggerutu, sesekali kalimat 'Banyu menyebalkan', 'benci sekali', 'dasar Banyu jelek bau' muncul di antara gerutuannya.

Liana menghentakkan kakinya di tengah-tengah genangan air, menyebabkan air itu terciprat ke sekitar. Ia terdiam ketika telinganya mendengar suara kejut di belakangnya. Gadis imut itu terdiam, pikirannya sudah berpikir buruk 'mungkin kah ada yang mengikutiku?' 'Orang jahat?' 'Maniaaakk?' 'Tidakk aku terlalu imut untuk diculik maniak'

Liana menengok pelan.

"YHA BANYU! kenapa kau mengikutiku!" Teriaknya dengan suara tingginya, mendapati Banyu sedang mengebas-kebaskan jaketnya yang basah.

"Percaya diri sekali, aku ingin ke minimarket!" Banyu kemudian berjalan mendahului Liana, memang di depan sana ada minimarket di sebelah halte dan Banyu memasuki toko itu.

Liana terdiam, kemudian kakinya kembali ia hentakkan,

"DASAR BANYU BAU MENYEBALKAN!!!"

Banyu tersenyum dari dalam minimarket mendengar teriakan itu. Ia baru keluar dari sana setelah Liana menaiki bis menuju kostnya.

Jika saja Liana ingat, ada sebuah minimarket tepat di sebelah kafe komik itu, untuk apa lelaki itu jauh-jauh kesini?

.

.

.

Kelas musik klasik baru saja selesai 15 menit lalu, ruangan kelas mulai sepi ditinggalkan mahasiswa yang mulai keluar memburu makanan, atau sekedar mencari bahan tugas.

Banyu masih berada di ruang kelas bersama Chandra, sahabatnya, duduk di balik sebuah grand piano sedikit mengulang pelajaran tadi.

Banyu tidak menyadari seseorang masuk ke ruangan itu, berjalan menyeret kakinya, dan duduk di salah satu kursi di sana, menelungkupkan kepalanya dibalik lipatan lengan.

Lihat selengkapnya