“Dante....” aku mendengar seseorang berteriak di depan rumahku.
“Seperti ada yang memanggilku. Mungkin hanya perasaanku.” Aku kembali ke rutinitas mingguanku, yaitu tidur.
Tak lama kemudian aku mendengar langkah kaki mendekat, inilah saat-saat dimana aku harus berakting tertidur pulas. Terkadang ibuku selalu membangunkanku di hari minggu terlebih di pagi hari dimana pagi hari adalah waktu yang sakral untuk seorang pemalas sepertiku. Ibuku mengetuk pintu lalu membukanya tanpa bertanya padaku. Tentu saja, pasti ibuku sudah terbiasa dengan aktingku.
“Dante, bangunlah. Ada Luna di bawah. Cepat temui dia.” Kata Ibuku menepuk-nepuk kakiku.
“Luna? Bukannya dia memanggil ibu? Dia bilang tante..” kataku, masih di balik selimutku yang lembut.
“Entah kupingmu yang bermasalah atau kau yang melindur. Cepatlah bangun. Kalau kau tak mau bangun biar kusuruh Luna yang membangunkanmu nanti.” Ibuku berkata, sambil keluar kamarku.
“Tidak perlu, aku sudah bangun.” Aku melompat dari kasurku.
Sebenarnya aku malas jika menyangkut tentang Luna. Dia adalah wanita feminin yang gemar membuat masalah. Lagipula ini hari minggu, tak bisakah dia memberikanku istirahat. Mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur berjanji pada kedua orang tuanya. Terkadang aku menyesal telah berjanji pada orang tuanya. Janjiku ini bermula pada saat kami masih duduk di bangku kelas dua SMP. Saat itu aku bahkan tidak tahu mengapa Luna menangis, tiba-tiba saja orang tuanya memintaku berjanji untuk menjaga Luna kapanpun dan dimanapun. Aku bahkan bingung saat pertama kali mendengar permintaan itu. Saat itu Luna memang terlihat dekil entah habis berkelahi atau terjatuh. Dia sudah menangis saat aku tiba di sana. Aku sengaja pergi ke rumahnya karena ibunya Luna meneleponku. Di telepon aku mendapat permintaan untuk menghibur Luna yang terus menangis entah karena apa. Aku pun datang tanpa prasangka apapun, hingga ibunya Luna meninggalkan kami berdua hanya kami berdua di ruang tamu. Dan akhirnya dia mulai membuka topengnya, aku rasa inilah awal bagaimana dia bisa memiliki pelayan yang setia. Yaitu aku.
“Hai.” Dia menyapaku di ruang tamu. Cukup aneh, kurasa.
“Apa rencanamu kali ini? Aku baru saja menikmati hari Minggu yang indah.” Aku berkata pada Luna yang sedang duduk di sofa di depan TV.
“Aku mau mengajakmu main di luar, sebaiknya kau cuci terlebih dahulu wajahmu itu. Wajahmu terlihat berantakan.” Katanya sambil menunjuk wajahku.
Berantakan? Oh ayolah. Kau harusnya sudah tahu kalau kamar mandiku ada di lantai satu sedangkan kamarku ada di lantai dua. Bagaimana caranya aku bisa membasuh wajahku terlebih dahulu jika kamar mandinya ada di lantai satu.
“Kalau begitu aku..” kataku, sambil menunjuk ke arah kamar mandi.
“Cepatlah..aku menunggumu disini.” Dia berteriak.
Saat itu aku benar-benar tertipu, aku rasa. Aktingnya tampak meyakinkan. Bahkan ibunya juga sepertinya percaya dengan tangisan palsunya. Tangisannya berhenti saat ibunya hanya meninggalkan kami berdua di ruang tamu. Ekspresi wajahnya seketika berubah drastis. Dia bahkan tertawa di depanku.
“Bagaimana aktingku? Apa aku seperti aktris profesional?” Dia bertanya seolah dia tidak memiliki salah pada siapapun.
“Kau sedang berakting?” aku masih bingung dengan perkataannya.
“Bagaimana kalau kita pergi keluar? Aku lapar.” katanya sambil mencoba menyeret tanganku.
“Makan? Keluar? Apa ibumu tidak memasak?” Dengan sendirinya aku mengiyakan ajakannya dan menerima diseret-seret.
“Tentu saja masak, aku hanya bosan saja dengan makanan di rumah.”
“Baiklah. Kau sudah bawa uang?”
“Aku? Bukankah seharusnya pria yang mentraktir wanita?” Dia menanyakan hal yang membuatku bingung, dia ini sedang mencoba menipuku atau apa?
“Hei, aku masih SMP, darimana aku dapat uang untuk mentraktirmu makan.”