A Star Between Us

Pojin Marble
Chapter #22

Bab 22

  Dulu kami pernah mencoba untuk mengikuti sebuah turnamen, hanya saja ibuku tidak mengizinkannya. Kami sudah memiliki tim saat itu, kami sudah mempersiapkan segalanya. Yang aku butuhkan hanyalah izin dari ibuku, tapi ibuku tidak memberiku izin. Ibuku bilang, aku harus fokus pada pendidikanku. Aku akan menyia-nyiakan hidupku jika melewatkan pendidikan di usia dini. Karena turnamen seperti itu tidak hanya satu atau dua kali diadakan, jadi mau tidak mau aku harus memilih pendidikanku dahulu. Itulah yang dikatakan ibuku. Yah, walaupun memang sampai sekarang masih sering diadakan, sayangnya kami sudah kehilangan tim kami. Hanya tersisa aku dan Luna di tim kami, sisanya aku tidak tahu ke mana mereka pergi. Dan juga, aku dan Luna kini sudah tidak berhasrat lagi untuk mengikuti turnamen seperti itu. Luna memang masih ambisius saat bermain sampai sekarang, tapi saat aku bertanya padanya apa dia mau mengikuti turnamen game online lagi atau tidak, dia menjawab “tidak”.

  Tapi jika mengingat saat aku meminta izin ibuku untuk mengikuti turnamen itu, rasanya menyebalkan. Saat itu yang meminta izin bukan hanya aku, tapi juga Luna. Dia ikut membantuku mendapatkan izin dari ibuku, itu rencananya tadinya. Tapi berubah seketika saat kami mulai diomeli ibuku. Luna mulai memanas-manasi ibuku dengan berkata kalau ini semua ideku. Dia bilang itu semua kemauanku, dan mereka semua hanya mengikutiku. Sungguh perempuan yang menakjubkan, dia bilang dia mau membantuku meminta izin pada ibuku. Kenyataannya dia hanya membuatku semakin sulit untuk mendapatkan izin dari ibuku. Bukannya aku mau menyalahkan Luna terus menerus, tapi dari kebanyakan permasalahan yang kuhadapi, sebagian besar Luna ada di dalamnya. Delapan puluh persen permasalahan yang ada di hidupku bukanlah permasalahanku. Aku hanya terseret ombak yang Luna buat. Dia selalu menyeretku ke dalam permasalahannya.

  “Kena kau, bam!” seru Luna.

  “Kita menang.”

  “Berkat siapa dulu dong, Luna.” Ya ya ya, terserah apa katamu. Kalah menyalahkan orang lain menang membanggakan diri sendiri. Dasar Luna.

  “Ah, ternyata sudah siang. Saatnya kau minum obat.”

  “Lagi? tidak usah ya? Aku sudah sembuh ini.” ucap Luna sambil mengangkat kedua tangannya seperti seorang binaragawan.

  “Kau harus minum obatnya paling tidak selama dua hari.”

  “Dua hari? Bagaimana kalau terakhir hari ini saja ya? ya? Nanti malam.”

  “Tidak bisa, kau harus sembuh. Harus kupastikan kalau kau sudah benar-benar sembuh.” Kataku. “Kau mau makan apa? Biar kucarikan.”

  “Mm. Terserah kau saja.” Luna merajuk.

  Terserah apa yang mau kau lakukan. Aku tidak akan terpengaruh. Aku sudah terbiasa. Lagipula ini demi kesembuhannya, harus berapa kali kubilang kalau ini demi kesembuhannya.

  “Sayur asam? Biar kupesankan.”

  “Jangan pesan dari hotel ini.”

  “Kau sudah mencobanya? Tak ada salahnya mencoba buatan hotel ini.”

  Kenapa dia selalu menolak makanan dari hotel? Dia punya masalah dengan koki di hotel ini?

  “Kalau begitu biar kucari di warung terdekat.”

  Aku berkeliaran lagi di sekitar hotel. Kali ini aku mencari warung yang menjual sayur asam, semoga ada warung yang menjualnya dan aku tidak harus ke restoran untuk membelinya. Biayanya pasti berlipat-lipat jika membelinya di restoran. Karena aku hanya seorang pelajar SMA yang sedang menikmati hari libur tengah semester.

Lihat selengkapnya