Aku kembali ke kamarku. Pikiranku jadi kotor, jadi aku harus segera pergi sebelum khayalanku ke mana-mana. Sangat memungkinkan jika aku berkhayal sampai kesana, karena semalam aku tidak ingat apapun setelah dua kali menenggak bir itu. Aku masih normal, wajar saja kan aku membayangkan hal-hal seperti itu? Aku memang menyukai Luna, itu karena dia cantik. Aku juga menyayanginya, tapi rasa sayangku hanya sebatas kakak dan adik. Karena kami berdua sama-sama anak tunggal. Dan baru kali ini aku membayangkan melakukan hal-hal seperti itu dengan Luna. Benarkah aku dan Luna....
Menurutku tidak mungkin. Aku tidak segila itu sampai berbuat mesum di tempat umum.
Aku lapar, sebaiknya aku sarapan terlebih dahulu sebelum kabut di dalam kepalaku ini semakin tebal dan aku tidak bisa berpikir jernih. Akan kucoba mengajak Teddy dan Bobby sekalian untuk mencari sarapan.
“Dasar kerbau.” Gumamku.
Mereka masih tidur. Sudah jam setengah sembilan dan mereka masih tidur.
“Hei, bangunlah. Teddy, Bobby.” Mereka berdua hanya menggeliat. “Kalian tidak lapar?”
“Jam berapa ini memangnya ha?” Kata Teddy masih setengah sadar.
“Jam sembilan.”
Teddy terperanjat. Dia langsung bangun dari ranjang, mendadak dia memiliki kesadaran penuh. “Benarkah? Gawat!” Teddy langsung berlari ke kamar mandi.
Apanya yang gawat?
“Bobby, kau tidak merasa lapar?” Bobby masih menggeliat saat aku bangunkan. Dia harusnya yang paling awal jika menyangkut tentang makanan. “Bob!”
Teddy keluar dari kamar mandi.
“Kau tadi mengatakan gawat, apanya yang gawat?”
“A, itu.. aku.. hanya ada janji dengan seseorang. Jadi, aku akan pergi duluan. Kau bisa mencari sarapan dengan Bobby.” Kata Teddy bergegas meninggalkan kamar.
“Dia punya teman di sini?”
Terserahlah, palingan juga dia janjian dengan perempuan lagi. Paling-paling dia ditolak lagi. Dia tidak pernah belajar dari yang sudah-sudah. Dia terlalu rajin mencari wanita untuk dia dekati. Sekilas Teddy tampak seperti playboy, dan dia hanya akan tampak seperti playboy jika bersama kami. Aku tidak tahu kenapa dia terburu-buru sekali mencari pacar. Aku berharap dia bukan psikopat yang sedang mencari mangsa, atau dukun yang hendak melakukan ritual entah memanggil apa.
Tinggal satu orang lagi yang belum bangun.
“Mau sampai kapan kau tidur Bobby?” Kataku.
Aku tidak punya petasan, enaknya kubangunkan pakai apa ya Bobby? Haruskah aku meminjam panci di hotel ini dan melemparkannya pada Bobby?
Ah, Bobby membuatku semakin kelaparan. “Bobby, kalau kau tidak segera bangun, kutinggal kau.”