Sedangkan dua orang bodoh yang tidak melihat isyaratku, mereka mengambil napas sebentar lalu mengejarku kembali. Mereka masih berusaha mengambil ikan bakarku.
Mereka bisa beli lagi, kenapa malah mengejarku terus?
Aku mengangkat tanganku. “Aku menyerah. Ambillah.” Aku menaruh ikan bakarku yang di bawahnya ada daun pisang yang kujadikan alas di atas pasir.
Setelah itu aku mengambil tempat duduk di dekat Luna. Dan beristirahat lagi.
“Kau belum menghabiskannya?” Aku bertanya, masih dalam keadaan ngos-ngosan.
“Aaa....”Luna menyuapiku. Itu potongan yang lumayan besar.
Tentu saja aku menerimanya, rasanya enak. Tidak ada yang aneh dengan rasanya. “Kau tidak masalah? Itu tadi lumayan besar.”
Luna menyeka sisa makanan yang tertinggal di sekitar bibirku dengan tangannya. Tiba-tiba? Aku merasa ada yang aneh di sini.
“Itu tadi milik Bobby yang terjatuh saat mengejarmu.” kata Luna, sambil meminum kopinya.
Kau serius? Hei, aku sudah menelannya. “Katakan kalau kau hanya bercanda.”
“Aku hanya bercanda.”
“Bagus.”
“Tapi itu benar milik Bobby yang jatuh tadi.” Luna berbisik.
“Hei!”
Guyonannya membuatku jantungan.
Tadi dia hanya bercanda kan?
Puas melihat sunset yang seadanya, Luna kembali ke hotel. Kami berempat juga.
“Kau berhutang satu ikan bakar padaku.” ucap Bobby.
Dia masih membahas ikan bakar ya?
“Apanya yang berhutang? Itu tadi punyaku, bukan punyamu.”
Mengabaikan Bobby, aku mengambil handuk, lalu pergi ke kamar mandi. Aku merasa bajuku sangat berkeringat. Sudah malam juga.
“Oi Dante!” seru Bobby.
Masa bodoh dengan Bobby, berdebat dengannya sia-sia. Sudah jelas-jelas ikan bakar tadi yang kumakan itu punyaku.
Apa yang dia maksud potongan ikan bakar yang diberikan Luna padaku?