Bangun pagi, memakai pakaian serba pendek, berswafoto di pantai sendirian. Dia memang tidak ada kegiatan lain ya?
Kalau dia mengincar sunrise, dia sudah terlambat. “Kau tidak ada kegiatan lain ya selain berswafoto?” kataku. “Dari kemarin sepertinya kau suka sekali berswafoto. Ada seseorang yang mau kau kirimi fotomu?”
Benar juga, dia dari kemarin suka sekali berswafoto. Sangat mencurigakan, di Ciwidey dia sama sekali tidak menggunakan ponselnya untuk berswafoto. Kenapa dia sekarang suka sekali berswafoto?
“Hanya suka saja dengan pantai.” Baiklah, berarti itu hanya perasaanku saja. “Aku lapar, makan yuk?”
“Kau bawa uang?”
“Tentu saja, jangan samakan aku denganmu yang ceroboh.”
Sekarang dia mengembalikan kalimat itu padaku. Bagus sekali.
Kami selesai sarapan.
Berbeda dengan tempat kami makan kepiting kemarin, sekarang kami makan di sebuah warung makan yang terletak di dekat pantai. Mungkin jam segini restoran belum buka. Terima kasih untuk restoran yang belum buka, kalian sudah membantuku dalam menghemat uang. Walau sebenarnya bukan dengan uangku membayarnya.
“Tumben kau mau mentraktirku, ada apa?”
Luna menoleh setelah sedari tadi melihat keluar jendela saat makan. “Jadi kau mau membayar sendiri makananmu?”
“Tidak, tidak. Aku hanya bertanya saja. Yah, aku berterima kasih sekali kau mentraktirku. Sungguh.” Dia mudah sekali marah, padahal aku kan sudah sering sekali mentraktirnya, kenapa dia langsung kesal saat aku bertanya seperti itu. Memang biasanya dia ada maunya. Lagian apa sih yang sedang dibayangkannya saat melihat keluar tadi? Aku penasaran.
“Sekarang bagaimana? Kau ada saran kita sebaiknya ke mana?” tanya Luna.
“Kau bertanya padaku?”
“Jangan menunggu kugampar baru kau sadar. Ya tentu aku bertanya padamu, memangnya manusia yang ada di hadapanku selain kau siapa lagi?” Kenapa dia mudah sekali emosi.
“Hei, santai, santai. Maksudku, kau kan biasanya punya kegiatan sendiri, kenapa tiba-tiba bertanya padaku apa yang harus kau lakukan selanjutnya. Begitu maksudku, jangan emosi.”
Luna melihat ke luar lagi, sambil memanyunkan bibirnya. “Aku bingung mau melakukan apa lagi. Eh tunggu.. kita belum berciuman. berciuman sambil melihat sunset adalah momen yang pas.”
Memang harus ya?
“Ya kan? Kenapa kau tidak mengingatkanku? kau juga, kan bisa langsung menciumku.” Luna menepuk tanganku.
“Aw. Yang pertama, itu sakit.” kataku, sambil mengusap-usap tanganku. “Yang kedua, atas dasar apa aku tiba-tiba menciummu? Yang ketiga, bagaimana aku tahu kalau berciuman saat melihat sunset adalah momen yang pas?”
Aku bisa mengawasi perilakunya, tapi aku tidak bisa mengawasi pola pikirnya. Bagaimana caranya mengawasi pola pikir seseorang?
“Kalau kau memang ingin berciuman, kenapa tidak langsung kau cium saja Tina? Dia kan ada di sebelahmu.”
“Tina itu perempuan. Kalau aku mencium bibirnya, orang-orang yang melihatku akan salah paham.”
Jangan mengkhawatirkan orang lain, kau sendiri bahkan sering salah paham padaku.
“Makanya cari pacar. Sejak dulu kau selalu menjodoh-jodohkanku, sekarang kenapa kau tidak mencari pacar untuk dirimu sendiri hah?”
“Diamlah. Aku sedang mencari pose yang bagus ini.” Luna berpose lagi, sambil mengangkat ponselnya ke depan wajahnya.
Aku menghela napas.
Aku bisa apa lagi memangnya?
“Ponsel itu tampak tak asing.”
"....”
Aku memandangi ponsel yang dipegang Luna.