A Star Between Us

Pojin Marble
Chapter #41

Bab 41


Aku menyenggol bahu Luna, dan dia tetap bergeming menatap lurus ke depan. "Apa yang kau lihat?" aku menepuk pipinya. "Sudah sadar?"

Dia menoleh dengan cepat, matanya membesar saat menoleh ke arahku. Tanpa basa-basi Luna membalasku dengan menamparku. Wajahnya tampak tanpa beban ketika dia kemudian pergi ke meja panjang tempat makanan dan minuman ditata rapi.

Dua puluh menit berlalu dan aku pun pergi keluar. Di tengah-tengah keramaian sungguh menyesakkan. Aku duduk di trotoar. Yang kupastikan bersih dari kotoran apapun, kecuali jejak kaki. 

Aku duduk dan menatap rumah Shinta. Rumah megah yang juga saat ini ramai oleh manusia. Dari tempatku berada, rumah itu tampak kelap-kelip, warna-warni lampu berkedip tanpa henti. 

Sekitar lima belas menit aku duduk menikmati malam dan langit yang sepi. Memandang tanpa henti pada bulan yang bersinar seorang diri. Tidak ada tempat dan kesempatan bagiku berada di sekeliling manusia-manusia normal di dalam sana. Pikiranku terlalu sibuk memikirkan yang lain. Atau mungkin aku yang memilih untuk menjauh dari mereka semua.

Angin di malam hari bisa menjadi sangat kejam ketika kau tidak memakai pakaian hangat satu pun. Untungnya aku memakai kemeja dan jaket. Meski kadang terasa dingin, sangat menenangkan menjauh dari mereka semua. 

Ada banyak yang melintas dalam pikiranku saat ini. Salah satunya adakah, 'kapan acaranya berakhir?' 'pulang duluan apa menunggu Luna ya?' sudah hampir satu jam acara ini berlangsung. Aku tahu dia dari keluarga kaya raya dan punya rumah yang megah, tapi aku tidak yakin orang tuanya setuju dengan acara seperti ini. Tapi mengingat Shinta salah satu orang yang menjadi penanggung jawab pementasan drama, juga melihat prestasinya yang selalu masuk lima besar pasti orang tuanya setuju dengan pesta ulang tahunnya.

Luna muncul dari arah pintu dan datang menghampiriku. Dia memakai gaun hitam yang memperlihatkan sedikit pahanya dan kakinya yang pendek. Kenapa juga dia memakai pakaian seperti itu malam-malam. Aku tak bisa mengerti isi pikiran wanita.

Dia memakai kalung, cincin, juga membawa tas kecil berwarna hitam corak bergaris putih. Dia memang terlihat cantik, tapi sama saja.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Sudah, sudah masuk sana. Kenapa kau ikutan di sini. Pergilah." Aku mengusirnya.

"Kenapa malah mengusirku?" pakaiannya tidak cocok berlama-lama di luar. "Pinjam jaketmu. Aku kedinginan." Aku sudah menyuruhnya pergi, dan dia malah ikut duduk di sampingku. Luna menggelar jaketku di trotoar tepat di sampingku. Bagus sekali.

"Kau masih waras kan? Kepalamu habis terbentur apa tadi di dalam?" aku menempelkan telapak tanganku di keningnya.

"Ih apaan sih, singkirkan tanganmu." Luna menepis tanganku. 

"Di sini dingin dan kau malah menggunakan jaketku sebagai alas duduk, yang benar saja. Hei aku tidak mau dimarahi ibuku. Pakai jaketku yang benar." Aku menarik pelan jaketku dan sedikit mendorongnya.

Luna bersikeras tetap duduk dan melawan tarikanku. Sekuat tenaga dia mendorongku sambil menarik jaketku yang dia duduki.

"Apa masalahmu, pergi sana." Luna berkata sambil memukul lenganku. Memang dasarnya dia keras kepala. Daripada aku yang terluka lebih baik aku menyerah.

"Ini, aku memberikannya bukan untuk alas dudukmu." aku memberikan kemeja hijau tuaku. "Kalau kau masih mau duduk di sini pakai."

Luna menurut dan memakai kemejaku. Ekspresinya tampak kesal ketika aku melirik ke arahnya. Tidak apa, hanya cemberut saja tidak membuatku takut. Kalau dia sampai sakit itu yang repot. Walaupun kakek dan neneknya masih hidup, tugas untuk merawatnya tetap menjadi tugasku. Itu topik yang jadi diskusi keluargaku saat kami berdua mulai dekat. Atau lebih tepatnya saat Luna kehilangan kedua orang tuanya.

Lihat selengkapnya