"Tumben kau memikirkan berangkat sekolah, seingatku kau selalu tidur larut malam dan tak memedulikan jam berapa berangkat ke sekolah."
"Jangan menyebar hoax ya."
"Bukan hoax namanya kalau ada buktinya."
"Bukti? Mana buktinya? Mana? Berikan padaku—perlihatkan padaku. Kau bisanya cuman membual."
"Aku buktinya—aku saksinya. Kau lupa aku saksi hidup atas semua tingkahmu itu?" aku berpaling menoleh padanya. "Ha, mau bicara apa kau sekarang?"
"Hmph!" dengusnya membuang muka.
"Kita sampai." Akhirnya. Aku berjongkok dan menyingkirkan Luna dari punggungku. "Fuh." Aku bisa merasakan tangan dan dengkulku gemetar.
"Fuh? Jadi menurutmu aku berat ya?" tanyanya berkacak pinggang.
Aduhh, dia ini kenapa lagi sih? Sudah di depan rumah, sudah kuturuti makan bakso, kuturuti kugendong sampai depan rumah. Masih aja.
"Tidak—aku tidak punya maksud apapun." Aku tersenyum lebar.
"Jangan bohong, mengaku saja."
"Jangan berisik ini sudah malam, dan aku sudah lelah. Lagian kau ini kenapa sih, aku kan masih punya uang untuk membayar taksinya. Kenapa kau tidak mau kuantar sampai rumah dengan taksi? Kakiku pegal tahu."
"Mau mampir? Biar kupijat." Katanya dengan raut wajah datar.
Aku bergegas berbalik dan pergi. "Lupakan, sampai bertemu di sekolah besok."
Meski aku tidak melihatnya secara langsung, aku bisa merasakan Luna terkikik di belakangku.
Sembilan hari sebelum ujian nasional dilaksanakan kami semua memutuskan untuk melakukan latihan sekali lagi. Meminta izin pada guru yang bertanggung jawab, kami menggunakan aula sebagai tempat latihan. Karena pentas drama itu sendiri juga akan dilakukan di tempat ini, maka kami menggunakannya sekaligus untuk menyesuaikan peran dan tempat kami masing-masing.
Robi bertepuk tangan. "Semuanya, dengar. Ini latihan kita yang terakhir. Setelah ini kita masing-masing harus fokus pada ujian nasional. Jadi mari kita maksimalkan latihan kali ini. Terima kasih." Ucapnya berpidato.
"Ada apa dengannya?" Luna bertanya.
"Dia sedang memberi pidato penyemangat."
"Benarkah? Aku rasa itu percuma." Luna menggeleng.
"Untukmu percuma. Tapi...benar juga sih. Aku rasa pidato tidak berefek pada kita berdua."
"Kan?"
Saat kami berdua mengangguk-angguk mencoba memahami pidato Robi, sebagian anak-anak sudah berganti kostum dan berdiri di posisi mereka masing-masing. Beberapa dari mereka sudah memegang naskah dan menghapal dialog, sedang yang lain karena hanya sebagai pemeran pendukung tidak mendapat naskah dan sebelum latihan benar-benar dimulai mereka hanya mondar-mandir berlagak seperti model.
"Luna! Dante! Cepat ganti bajumu." Teriak Robi.