A Star Between Us

Pojin Marble
Chapter #43

Bab 43

"Diam kau." Balasnya kemudian berjalan mendahuluiku.

Malam itu, setelah mengajak Luna makan malam aku kemudian mengantarnya pulang. Tanpa susah payah membujuknya. Tidak seperti yang kubayangkan. Mungkin semua energi di tubuhnya habis saat dia duduk di sudut lorong tadi.

Sementara aku dan Luna pulang ke rumah. Ayah dan ibuku sibuk mengurus kakek dan nenek Luna di rumah sakit. Hari ini seharusnya mereka sudah ada di rumah Luna. 

Sebelum berangkat sekolah aku mendapat pesan dari Luna kalau dia ingin izin tidak masuk untuk hari ini. Aku sudah tahu apa alasannya jadi tidak ada satu pun pertanyaan kuberikan pada Luna. 

Dikarenakan kedua orang tuaku sibuk di rumah Luna, perutku terus berbunyi sepanjang perjalananku ke sekolah. Begitu sampai pun aku langsung pergi ke kantin, yang untungnya sebagian besar bibi-bibi penjual nasi sudah menata dagangan mereka dan siap melayani pembeli.

Oh iya, aku mengabari Tina, Bobby dan Teddy begitu mendapat kabar tentang kakek dan nenek Luna kemarin. Hari ini pasti mereka bergegas mencariku setibanya di sekolah.

Benar saja. Saat aku sedang menyantap sarapanku di salah satu warung nasi di kantin, Tina menemukanku dan berjalan mendekat. Dia datang sendirian. Tampaknya Bobby dan Teddy tetap kesiangan bahkan setelah liburan.

"Dante," panggil Tina, napasnya terasa—aku bisa merasakan dia tidak sabar bertanya tentang keadaan Luna. "Bagaimana dengan Luna?" Meski dia sudah bertanya semalam, tampaknya dia masih belum puas dengan jawabanku. "Apa dia baik-baik saja?"

Aku menelan nasi dan tempe goreng yang sudah berada di tenggorokanku. "Dia baik-baik saja. Tenang saja. Ada ayah dan ibuku yang menemani Luna." Kataku kemudian lanjut makan. Sedikit mengabaikan Tina yang bersiap bertanya lagi.

"Ah, Luna pasti sedih sekali. Bagaimana ini? Apa sebaiknya aku izin saja ya hari ini?" ucapnya terlihat gelisah.

Entah dia sedang berbicara sendiri atau secara tidak langsung sedang meminta pendapatku, jujur aku tidak tahu Tina akan sekhawatir ini. Soalnya sejak awal kenal Tina aku sama sekali tidak pernah melihatnya panik atau gejala-gejala yang menunjukkan dia seorang yang ceroboh.

Aku pikir orang pintar memang sepenuhnya hanya menggunakan otak mereka tanpa perasaan. Dan itu benar, terkecuali kalau mereka memiliki teman yang berharga. 

Apakah salah kalau aku tersenyum sendiri seperti orang tak waras. Yah, aku langsung mengakhirinya dengan cepat. Aku tidak mau dianggap tidak punya empati oleh Tina karena tersenyum saat dia mengkhawatirkan Luna.

"Kau bisa meneleponnya, sekarang atau nanti sekalian saat jam istirahat. Tapi aku yakin kita akan ada rencana berkunjung ke rumah Luna bersama. Benar begitu?"

"Ya, tentu saja. Teman macam apa aku kalau tidak begitu." Tina berkata.

Senang mendengarnya. "Untuk Bobby dan Teddy mungkin kita harus memastikan apakah mereka ikut atau tidak. Kita tidak tahu apa rencana mereka hari ini."

"Apaan memangnya, palingan mereka hanya bersantai-santai atau kalau tidak bermain game." Aku hanya memberi reaksi tersenyum menyetujui mendengar pernyataan Tina ini. Aku tidak mungkin tertawa terbahak-bahak karena aku sedang makan.

Lihat selengkapnya