Aku masih tidak percaya semua alur ini. Tapi tetap saja, memang susah ya pamit padaku? Kan bisa lewat pesan atau telepon.
Pergi tanpa pamit akan meninggalkan perasaan mengganjal. Jika dia tidak mau datang kemari, biar aku yang ke sana.
Karena Luna mengajak Tina, rasanya tidak adil kalau aku tidak mengajak Bobby dan Teddy.
Aku menelepon mereka begitu dapat ide. Kami merencanakan bagaimana aku bisa keluar dan pergi ke bandara. Dan kami melaksanakan setiap rencana itu satu persatu. Ini memakan waktu yang cukup lama.
Kami berhasil. Aku berhasil sampai ke bandara.
“Dante, ingat, hati-hati. Jangan lari. Kalian berdua, bantu Dante berjalan. Kalau sampai ada apa-apa—sebaiknya kalian tidak usah tahu. Jangan lupa sampaikan salam dari ibu dan ayah.” Kata ibuku melambaikan tangannya dan tersenyum.
Ya, itu benar. Kami sampai di bandara dengan diantar oleh ibuku. Mengelabui ibuku juga masuk dalam rencana. Tapi sayangnya gagal. Jadi seperti inilah kejadiannya.
Bobby dan Teddy berjalan di samping kanan dan kiriku. Aku memerintahkan mereka untuk membantuku berjalan dan mencari di mana Luna.
Aku berpergian sambil membawa infus, sulit bagiku jika harus berjalan sambil memerhatikan ke mana arah tujuanku. Tiga hari aku sudah dibolehkan pulang, sedangkan di hari kedua masih sesakit ini.
“Di mana—apa Tina sudah membalas pesannya?”
“Belum.”
“Satu pun?”
“Kau memangnya mau bilang apa sih, kan lewat telepon bisa?” tanya Teddy. “Mau menyatakan perasaan ya? Atau ada hal darurat lain? Misal sisa umurmu? Gawat kalau begitu.”
Kami bertiga serentak berhenti. Aku dan Bobby menatap Teddy bersama-sama. “Serius Teddy?”
“Apa? Hanya bertanya.”
“Sepertinya ada yang tidak beres dengan kepalamu.” Kata Bobby.
Aku menyuruh Bobby dan Teddy mengirim pesan pada Tina dan Luna. Tapi tidak satu pun dari pesan mereka yang dibalas.
Mereka belum naik kan? Masa sudah berangkat.
“Coba kau telepon Tina. Dia mungkin sibuk menyeret kopernya.” Kataku.
Bobby memiringkan kepalanya, “Aku tidak yakin tentang ini. Biasanya dia memang sulit diganggu saat sedang fokus.”
“Dia hanya menemani Luna menyeret koper, fokus apanya.” Celetuk Teddy.
“Ah, kakiku.” Aku tahu belum sepenuhnya sembuh, ini reaksi yang wajar.
“Kenapa—kenapa? Ada apa dengan kakimu?”
“Kau yakin baik-baik saja Dante? Sebaiknya kau kembali ke rumah sakit. Tidak perlu memaksakan diri. Kan masih bisa ketemu lewat panggilan video, kau ingat?” kata Teddy.
Aku tahu dan aku tidak lupa Teddy. Tapi melihat wajah seseorang di dunia nyata berbeda dengan saat melakukan panggilan video.
Tunggu? Ketemu? Sejak kapan bisa ketemuan lewat panggilan video.
“Teddy, cobalah pahami perasaan Dante dan hargai. Kita di sini sebagai teman untuk membantunya, paham?” ucap Bobby.
Dia terdengar bijak. Habis nonton film apa dia semalam.
“Ohh, wah—jadi benar kau akan menyatakan perasaan Dante?”
“Aku bilang menghargai bukan menggodanya, kau tidak paham ya?”
“Sudah, sudah, kenapa kalian—jangan ribut di sini. Dasar, kalian tidak malu dilihat orang? Penampilanku sendiri sudah menarik perhatian, jangan menambah penonton yang tidak perlu. Sekarang coba kalian cek lagi ponsel kalian. Ada di gate berapa mereka.”
Bobby dan Teddy sudah mengecek lagi ponselnya dan hasilnya tetap sama. Sambil menunggu pesan balasan dari Tina dan Luna, kami berjalan perlahan-lahan ke ruang tunggu bandara. Kakiku semakin terasa ngilu.
Aku tidak bisa lagi membohongi tubuhku sendiri. Kakiku sudah mencapai batasnya.
Aku duduk bersandar di kursi dan meletakkan kruk yang kubawa dari rumah sakit di sampingku.
Aku menyaksikan ramai orang berlalu-lalang membawa koper mereka. Aku melihat padatnya aktivitas orang-orang hingga berjalan terburu-buru.
Mau bagaimana pun, bisa dipastikan aku akan tinggal di rumah sakit lebih lama setelah ini.
“Sampai sekarang mereka berdua belum membalas pesannya.” Kata Bobby.
“Ya, Bobby benar. Ponselku juga sama.”
Aku hanya ingin dia pamit padaku--dan melihatnya sebelum pergi jauh.