Bulan berganti bulan, melewati dinginnya musim penghujan yang kini telah memasuki masa penghabisannya.
Kisah demi kisah ia tulis sedemikian indah di buku hariannya. Merangkai setiap kata dengan goresan pena nya sebagai kutipan isi hatinya. Sebuah catatan kecil tentang dirinya dan cerita hidup yang sedang bergulir.
Sebagaimana Sang Maha Esa menggulirkan takdir hidup masing-masing umatNya.
***
Awal Maret, 1999
Beberapa bulan menjalin hubungan dengan Hervino membuat hari-hari Cecile makin berwarna. Apalagi hubungannya dengan Adita dan Winda juga sudah menemukan titik terang.
Adita sudah bisa menerima kenyataan yang ada, bahwasanya cinta memang tak berpihak kepadanya. Mengikhlaskan Vino bahagia bersama Cecile, sahabatnya ... adalah cara yang tepat untuk memulihkan persahabatan mereka.
Tak lagi seperti dulu, mereka kini jarang pergi main berempat lagi, meski cuma sekedar nongkrong di cafe murahan ala anak-anak SMA. Fokus menghadapi ujian sekolah menjadi prioritas utama mereka saat ini.
Terlebih bagi Cecile, si gadis perfeksionis ini sedang mempersiapkan dirinya sebaik mungkin demi bisa menghadapi ujian sekolah dengan sempurna.
Tentunya Vino menjadi penyemangat bagi Cecile, dan ingin menunjukan bahwa dia mampu melakukan yang terbaik dan lulus dengan hasil yang memuaskan.
Di sebuah kesempatan, Cecile dan Vino sedang makan siang berdua di kedai langganan mereka.
"Ujian sekolah akan dimulai dua minggu lagi. Sepertinya kita tidak bisa bertemu dulu. Nggak apa kan mas?" ucap Cecile.
"Ehhmm ... nggak apa, aku ingin kamu benar-benar fokus dan konsentrasi belajar. Aku ingin kamu mendapat nilai bagus, lulus dan meraih apa yang kamu cita-citakan. Kamu harus bisa bikin bangga orang tuamu dan tentunya ... aku. Jangan lupa makan, istirahat yang cukup biar nggak sakit. Jangan kelayapan, karena diluar berbahaya!" pesanVino panjang lebar sudah kayak nenek-nenek. Hingga membuat Cecile tertawa lepas.
"Hahaha ... iya sayaaang. Akan aku buktikan, aku bisa melakukan yang terbaik dan lulus dengan hasil yang memuaskan. Aku janji, makan dan istirahat secara teratur dan tak akan kelayapan lagi," tambah Cecile.
Keduanya tertawa ringan sembari Vino menyuapi sesendok nasi ke mulut Cecile.
"Kenapa mas melihatku seperti itu? Apakah aku seperti masih kanak-kanak ya?" tanya Cecile polos.
"Enggak, sama sekali enggak. Hanya saja ..."
"Hanya saja apa mas?"
"Ya, hanya saja ... aku tak pernah bosan memandangmu. Saat memandangmu seperti ini, aku serasa berada di Taman Eden. Penuh kedamaian, lepas sejenak dari hiruk pikuk suasana di kantor," jelas Vino.
Cecile pun tersenyum tersipu malu menambah ayu parasnya yang semakin tak bisa terlepaskan oleh tatapan mata Hervino. Di susul oleh senyum Vino yang tak kalah menawan, sembari menggenggam tangan kekasihnya itu.
"Ohh ... ya mas, kerjaan mas sendiri bagaimana?"
"Baik, semua baik-baik saja. Tapi mungkin untuk beberapa bulan ke depan mungkin nggak baik-baik saja!" jawab Vino.
"Hhah ... apa maksudnya ngga baik-baik saja? Memangnya, mas mau ngelakuin apa? Ada tugas atau semacam misi gitukah?" tanya Cecile sedikit cemas.
"Enggak sih,"
"Lantas? Jangan bikin aku cemas dong mas! Kemarin, aku dah dibuat cemas sewaktu mas ada latihan terbang, sekarang apa lagi?" tanya Cecile makin resah.
"Ya, aku nggak baik-baik saja karena pastinya beberapa bulan ke depan aku pasti rindu berat sama kamu, hehe ..." jelas Vino sambil mengusap kepala Cecile.
"Ohh ... jadi cuman itu? kirain ada semacam tugas atau misi yang membahayakan gitu. Ihh ... mas ini bikin baper aja."
"Ya, namanya jadi pacar seorang prajurit, ya memang harus siap kapan aja untuk ditinggal bertugas. Itu kan memang sudah pekerjaan yang harus di emban," ujar Vino.
"Ya, aku tahu ... tapi tidak untuk sekarang. Rasanya aku tidak bisa siap untuk ditinggal bertugas dan menanti dengan penuh kerinduan dan kecemasan. Itu pasti sangat menyiksa!"
Vino mengangguk sambil tertunduk, yang mengisyaratkan memang benar adanya bahwa suatu saat memang harus siap untuk hal itu. Apalagi untuk dirinya yang baru saja meniti karirnya di kemiliteran. Dengan posisi pangkat yang masih rendah memang rentan dengan berbagai tugas negara.
***
Ujian sekolah baru saja dimulai. Rentetan schedul pun mulai di kerjakan Cecile dan kawan-kawan semaksimal mungkin. Konsentrasi penuh demi tak ingin mengecewakan orang-orang terkasih. Apalagi dengan rindunya pada Hervino yang harus ia simpan untuk sementara waktu, akan menjadi terasa berat.
Pertengahan bulan Mei 1999.
Hingga tiba saatnya, hari dimana Ujian Nasional di mulai dan berlangsung sangat tegang. Hampir saja Cecile tak bisa mengikuti hari pertama ujian, karena mengalami kram perut yang diakibatkan tamu bulanan yang juga datang bersamaan. Namun, untunglah ... akhirnya bisa mengerjakan sampai selesai berkat Reyna.