Di barak, pukul 04.30.
Sesaat sebelum keberangkatan, Hervino sedang mempacking pakaian serta barangnya. Sejenak ia duduk termenung di kasurnya memandangi bingkai foto keluarga berukuran kecil yang selalu ia bawa kemanapun. Sambil mengusap pelan foto itu, ia pun kemudian memasukkan ke dalam tasnya. Lalu, diambilnya dompet warna hijau army miliknya. Ia pun menarik perlahan foto kekasihnya, Cecile yang terselip di dalamnya. Ia semakin tak kuasa mengingat nasib cintanya yang baru seumur jagung dan harus terpisah jarak dan waktu.
Meski kecil harapan untuk menyatukan cinta mereka kembali. Namun ia selalu menggantungkan harapannya pada takdir yang mudah-mudahan akan berbaik dan mempersatukan mereka kelak.
Pedih yang tertahan di dalam dada membuatnya meneteskan air mata. Tak pernah mengira, bahwa ia akan merindukan mereka untuk waktu yang cukup lama
***
"Setelah kepergianmu, mas ... Apalah artinya hidupku. Dan untuk siapakah hati dan hari-hariku akan ku isi? Sepi yang sekarang lebih kelam dari setahun yang lalu, sebelum engkau hadir."
"Hati yang telah robek, tapi bukan karena salahmu, mas. Terasa lebih sakit, karena luka ini sangat dalam, bahkan tak ada obatnya. Tapi, aku tak pernah menyesal telah mencintaimu dengan tanpa batas."
"Meski tak terima kenyataan, tapi di ujung senduku aku bersyukur pada Tuhan yang telah mempertemukan kita meski hanya sekelumit waktu."
Sejak kepergian Vino, Cecile masih saja bersedih. Kamar menjadi ruang pribadi paling nyaman baginya untuk menghabiskan hari harinya. Tak ingin melakukan apapun dan tak ingin bertemu siapapun. Hanya sesak di dada yang ia rasakan, meratapi kisah cintanya yang tak mendapat restu dari Sang Kuasa.
Tak cukup seminggu, bahkan sebulan untuk mengeringkan air matanya. Dia terus menyalahkan takdir, takdir yang tak berpihak kepadanya.
Di tengah terik siang hari, sang ibu memanggilnya untuk makan siang. Karena semenjak perpisahannya dengan Vino, ia jarang keluar kamar dan tak mau makan.
Rasa sedih dan kehilangannya telah membuat ia juga kehilangan selera makannya. Hanya sikap murung yang ia tampakkan pada orang tuanya. Membuat sang ibu bingung karena memang ia tak tahu apa yang terjadi pada putrinya.
Selain pendiam, Cecile juga sangat tertutup pada orang tuanya. Ia tak pernah bercerita apapun tentang dirinya, juga hubungannya dengan Vino. Awalnya orang tuanya hanya tahu Vino sebatas teman saja. Namun lama kelamaan, mereka tahu tentang kedekatan mereka.
Orang tua Cecile hanya senang apabila putrinya mau mengenal seorang pria, agar mengerti sifat-sifat seorang laki-laki. Sebagai pengenalan agar kelak tak salah memilih pasangan hidup.
Namun bagi Cecile, ia enggan terbuka soal hubungannya dengan Vino karena menurutnya, itu semua masih sangat awal. Kelak, mereka pun ingin meminta izin berpacaran pada orang tua masing-masing. Namun tak kesampaian, takdir telah dahulu berbicara.
Terdengar suara pak Pos memanggil. "Paket!"
Setelah keluar dilihatnya pak Pos mengantar sebuah paket.
"Untuk Cecilia Purnama."
"Ya, itu saya pak. Dari siapa?"
"Di situ, dibelakang ada nama pengirimnya. Mohon paraf dulu di sini mbak!"
Belum sempat membaca nama pengirim, ia pun segera membubuhkan paraf pada sehelai resi pengiriman. "Terima kasih Pak," Cecile menerima sebuah paket berbungkus kertas warna coklat.
"Sama-sama. Semoga harimu menyenangkan!" jawab pak Pos.
"Hhemm ... sok tau nih pak Pos."
Dilihatnya paket itu dan dibacanya, disitu tertulis pengirim : Hervino Sanjaya.
Dengan gembira, buru-buru ia bawa masuk ke kamarnya dan lekas dibukanya, tak sabar ingin segera tahu apa isi dari paket itu.
Setelah dibukanya, ternyata sebuah jaket bermotif doreng. Vino membelinya di pasar Tanah Abang, sewaktu transit di Jakarta. Yang kemudian langsung dikemas dan dikirimkan lewat kantor Pos selagi masih di Jakarta, sebagai kado ulang tahun Cecile waktu itu. Kemudian ia melanjutkan perjalanannya bertolak ke Lampung.
Cecile tampak senang sekali menerima barang pemberian Vino itu. Di peluk, cium, dan langsung dipakainya jaket itu yang tampak pas dan cocok melekat di badannya. Setelah puas memutar-mutar badannya di depan cermin, ia pun langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur hingga ia tertidur siang itu.
***
Beberapa bulan kemudian....
Pengumuman kelulusan sudah keluar, seluruh siswa kelas BAHASA angkatan 1999 dinyatakan lulus semua. Sorak sorai pun mengiringi kegembiraan mereka. Demikian juga Cecile, ia bahkan mendapatkan nilai yang cukup memuaskan.
Cecile dan ketiga sahabatnya berkumpul merayakan kelulusan mereka.
"Girls ... ayo kita hangout lagi. Untuk merayakan kelulusan kita," ajak Winda pada ketiga sahabatnya.
"Boleh, boleh! Enaknya kemana lagi nih, ke mall udah sering, kemarin pemotretan juga udah," tanya Adita.
"Kemana Cie, enaknya?"
"Kalau aku sih lagi pengen nonton. Tapi ya, terserah kalian pengennya kemana," jawab Cecile.