A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #2

1 || Perjuangan

"Dari sekian banyak negara, kenapa harus Jepang yang dia pilih?"

Rena membeku. Tadinya hendak menuju dapur yang terletak di sebelah kamar orang tua. Tapi kini, langkah itu terhenti. Celah pada pintu yang sedikit terbuka membuat ia menoleh. Menjadi media baginya untuk mendengar percapakan dari dalam dengan cukup jelas, meski diucapkan pelan-pelan.

"Kita memang nggak bisa atur kehendak orang, Pak, walaupun anak kita sendiri. Apalagi menyangkut impiannya." Ibu menimpali dengan nada suara yang sedikit lebih tenang. "Semakin kita tentang, justru keinginannya semakin kuat."

Bapak mendesah. Guratan lelah terpancar dari garis-garis wajah pria yang hendak memasuki kepala lima itu. "Bapak tahu. Tahu persis." Suara Bapak makin lemah disertai penyesalan saat mengatakan, "Bapak juga nggak mau, jadi orang tua yang membatasi keinginan anak, dan mengatur pilihannya, tapi ...." Selepas menundukkan wajah, nada penyesalan itu berubah jadi penentangan lagi. "Memangnya apa sih yang anak itu harapin dari Jepang? Apa yang mau dia dapetin di sana?"

Tangan Rena mengepal. Kelenjar mata terasa panas. Karena itu, telapak kakinya berbalik arah. Kembali ia masuki kamar dan menutup pintu perlahan. Sepelan itu pula ia hampiri kursi yang terserong lantaran sempat diduduki, dan masih akan digunakan setelah ia mengambil camilan, seperti yang tadi ia rencanakan. Namun, nyatanya ia kembali tanpa membawa apa pun dari dapur. Lapar yang sempat meliliti perut kini tidak terasa lagi.

Setelah mencoba merilekskan diri di kursi, ia putar posisi hingga berhadapan dengan pemandangan hujan dari jendela, yang sejak dua jam lalu membunyikan gemericik deras.

Dan selama itu pula ia mempersiapkan diri di depan laptop untuk serangkaian tes besok. Ini kali keduanya mengikuti seleksi pertukaran mahasiswa ke Jepang. Tentu saja ia tidak mau kegagalan terulang lagi. Maka ia mempersiapkan dengan sematang-matangnya hingga berhari-hari.

Namun, selepas mendengar percakapan orangtuanya tadi, semangatnya berangsur-angsur hilang.

Ini bukan pertama kalinya mereka menentang. Dulu saat Rena masih sekolah dan menggemari animasi buatan Negeri Sakura tersebut, secara spontan ia mengatakan ingin pergi ke perusahaan tempat memproduksinya, dan langsung diberikan ultimatum penolakan dari bapak.

"Nggak usah pergi jauh-jauh ke luar negeri. Kalau jauh dari pantauan orang tua bisa bahaya. Toh kalau mau belajar dari Indonesia juga bisa. Banyak perusahan bagus, perguruan tinggi bagus ...."

Saat sudah kuliah, penolakan bapak lebih jelas lagi ditujukan ke Jepang, bukan ke 'luar negeri' secara keseluruhan. "Silakan kamu cari pendidikan di luar negeri kalau mau, lewat jalur beasiswa, supaya wawasan kamu tambah luas. Atau sekadar jalan-jalan juga boleh kalau ada dananya. Tapi ingat, jangan pilih negara Jepang, ya."

Rena seringkali bertanya alasan orang tuanya tidak menyukai negara tersebut. Namun, tidak pernah diberikan jawaban yang pasti, sampai-sampai ia mengira ada alasan historis karena zaman penjajahan dulu. Tapi kalau dipikir-pikir tidak juga seperti itu. Mereka tidak membenci, karena mereka masih memperbolehkan Rena menggeluti budaya dan sastra Jepang. Mereka hanya tidak mau Rena pergi ke negara tersebut.

Hujan masih turun dengan deras. Dengan pikiran yang masih berkelumit, Rena alihkan perhatikan pada layar laptop yang kembali menyala karena lengannya tanpa sengaja menyenggol mouse. Kursor terarah pada satu pertanyaan dari laman situs penyedia persiapan beasiswa, berbunyi, "Apa tujuan Anda mengikuti program beasiswa ini?"

Rena merasa disudutkan dari berbagai sisi. Pertanyaan itu seperti yang terucap dari bibir bapak, meski tidak ditanyakan secara langsung padanya. Apa tujuanku? Rena mengulangi dalam hati. Mungkin dibandingkan peserta lain, ia tidak punya tujuan yang spesial. Tidak punya tujuan yang menggetarkan hati pewawancara. Ia, hanya ingin pergi ke negara impiannya tanpa mengeluarkan uang sepersen pun —kecuali pengeluaran kecil untuk membeli makanan, jajanan, atau oleh-oleh.

Asal tahu saja, selain program beasiswa, Rena sudah beberapa kali mengikuti lomba berhadiah liburan ke Jepang. Ia sangat ingin pergi ke sana bukan hanya karena mengagumi negaranya. Tapi karena ada sesuatu yang mengganjal tentang negara itu. Sesuatu yang terus mengikatnya. Dan ini semakin jelas dengan adanya penentangan dari kedua orang tuanya.

Berbagai cara Rena lakukan agar bisa mendatangi negara tersebut. Dua tahun lalu, di tengah-tengah libur pasca UAS, ia bersama empat orang teman sekampus membentuk tim teater. Tidaklah mudah mencari anggotanya. Ia harus memohon sana-sini dan mengiming-imingi hadiah lebih heboh lagi. Modal nekat ini berhasil membawa Rena bersama tim ke dalam ruangan besar serbaguna Kedubes Jepang, berjuang melawan tim lain.

“Eh, sumpah, bagus banget, ya,” bisik Fara, teman satu timnya, yang duduk di sebelahnya kala menonton penampilan dari tim lawan. “Niat banget. Jauh-jauh dari Cirebon bawa properti seribet itu. Ckckck ....”

Rena tersenyum kecut. Bukan hanya ini penampilan lawan yang terlihat bagus. Sudah sembilan tim unjuk gigi di depan sana, dan semuanya serasa tanpa cela di mata Rena. Semuanya tampak profesional. Dari nama-nama timnya saja dapat diketahui bahwa mereka berasal dari klub teater sungguhan.

Coba lihat Rena dan kawan-kawan. Mereka hanyalah mahasiswi biasa dengan kehidupan kampus yang juga biasa-biasa saja. Properti yang mereka bawa saja hasil meminjam dari salah satu klub di kampus. Karena cuma bisa pinjam, jadi mereka hanya membawa dua pohon sakura artifisial lengkap dengan potnya, beberapa helai dedaunan kering yang mereka pungut dari taman kampus, dan aksesori pribadi sebagai pelengkap karakter mereka.

Lihat selengkapnya