Alarm dari ponsel Rena sudah berbunyi sejak pagi-pagi sekali. Pukul empat kurang lima belas menit ia sudah bangun demi melaksanakan tahajud lengkap dengan witir, disusul salat subuh pukul empat lewat. Ia ingin memaksimalkan ibadah serta doa di hari yang penting ini. Usai berpakaian rapi, sembari mematut diri di cermin, ia ingat-ingat lagi ucapan Fara kemarin sore sebagai pembakar semangat.
"Bismillah. InsyaAllah tes hari ini dilancarkan," gumamnya penuh pengharapan. Ia tersenyum cerah, lantas merapikan rambut sebahunya sekali lagi. Ia berjalan keluar dengan bersemangat setelah menyelempangkan tas ke bahu kanan.
Di ruang makan yang merangkap dapur, bapak sudah terduduk dengan bentangan koran di muka, sementara ibu baru mengeluarkan tiga butir telur dan beberapa bahan masakan dari kulkas. Rena mengangkat lengan kiri yang berbalut jam tangan. Masih pukul lima lewat sepuluh menit. Orangtuanya memang selalu sibuk dengan kegiatan masing-masing setiap pagi. Sementara Rena, biasanya, lebih memilih untuk tidur lagi setelah salat subuh dan bangun agak siang. Terkhusus di hari terjadwal kuliah pagi —pukul delapan —ia akan memundurkan jam salat jadi pukul setengah enam, setelah itu mandi dan bersiap-siap untuk berangkat.
Bapak menoleh ketika mendengar decitan kursi di sebelahnya. Ia perhatikan Rena yang duduk, sudah berpakaian rapi, sudah sangat siap pergi. "Tumben banget nih udah rapi. Mau ke mana, Ren?" Tidak seperti ibu, bapak memang memanggil Rena dengan menyebut nama. "Ada janji ketemu orang-kah?"
Rena menggeleng. "Nggak, Pak. Hari ini ada kelas pagi."
"Biasanya juga baru berangkat mepet-mepet waktu walaupun ada kelas pagi," canda bapak seraya tersenyum jahil lengkap dengan alis yang terangkat.
"Bagus dong, Pak. Berarti dia mau mengubah kebiasaan jadi disiplin." Ibu menimpali tanpa mengalihkan perhatian dari gerakan tangannya yang memecah telur, kemudian dituangkan dalam mangkuk kecil.
"Asal jangan hari ini aja disiplinnya. Besok-besok kambuh lagi."
"Makanya jangan didoain begitu, Pak. Nanti malaikat dengar dan diamini kan berabe."
Bapak terbahak atas tanggapan Rena. Ibu pun terkekeh-kekeh, beradu suara dengan ketukan pisau yang memotong cabai dan bawang di atas talenan.
Pagi yang hangat. Jauh lebih hangat dari yang Rena duga. Padahal mereka tahu ada sesuatu yang penting bagi Rena di hari ini. Mereka tahu, sesuatu itu menyangkut dengan keberangkatan ke Jepang. Rena tidak mengusik masalah tersebut sampai ibu akhirnya selesai membuat nasi goreng. Sampai melahap habis dan membereskan piring pun, ia sama sekali tidak menyinggung mengenai apa yang kini berkelumit dalam pikirannya.
Tepat pukul enam kurang lima belas menit. Rena berpamitan pada Bapak yang hendak masuk ke toilet. Ibu sedang menyapu teras, jadi ia akan berpamitan pada ibu sekaligus beranjak keluar.
"Bu, adek berangkat. Assalamu'alaykum." Ia raih tangan ibu lantas menciumi, sedikit lebih lama dari biasanya. Ada ucapan lain yang mengiringi tatkala ia hendak melepaskan tangan ibu. Ucapan ini dituturkan dengan tulus dan penuh harap. "Hari ini adek mau ikut seleksi beasiswa ke Jepang. Doain ya, Bu."
Ibu menatap intens pancaran sinar pada mata anak semata wayangnya. Ini adalah pertama kalinya mendengar Rena meminta ia untuk turut berdoa pada perjuangan anak itu. Pertama kalinya Rena tidak malu menunjukkan sikap emosional yang mengarah ke pendewasaan. Dan itu begitu menyentuh batinnya.
Ibu genggam tangan Rena, tersenyum secerah sang surya yang perlahan-lahan menghunjamkan sinar ke bumi. "Ibu pasti selalu mendoakan yang terbaik untuk Adek. Pasti, demi kesuksesan Adek."