"Rena!"
Seorang gadis berkacamata melambaikan tangan setelah Rena menengok ke arahnya. Sambil menyeret koper, ia setengah berlari menghampiri Rena. Rambutnya yang dikuncir kuda berayun-ayun ke kanan-kiri.
Gadis itu bernama Ninda. Sebelumnya mereka tak saling mengenal meski satu almamater. Beberapa kali pertemuan sebelum keberangkatan ke Jepang membuat mereka akhirnya menjadi teman yang cukup akrab.
"Lu sendirian, Nin?" tanya Rena saat Ninda sudah berjarak kisaran lima langkah darinya.
"Tadi gue ke sini bareng ayah. Tapi cuma nganterin sampai depan. Biasa, bokap gue sibuk. Mau ada meeting, katanya." Ninda berujar begitu santai. Gadis itu memang pernah bilang bahwa ia sudah sering bepergian jauh dengan pesawat seorang diri, jadi tak masalah jika orangtuanya tidak mendampingi sampai hendak memasuki area Security Check Point 2, atau setidaknya menemani di lobi bandara. Berbeda dengan Rena yang baru pertama kali naik pesawat. Apalagi pergi ke negara yang menaruh kekhawatiran besar pada kedua orangtuanya. Saat ini saja, mereka seperti pengawal yang mengapit sisi kanan-kiri Rena.
"Ini teman kampus kamu?" Bapak bertanya, menebak. Rena pernah memberitahu bahwa ada satu teman kampusnya yang juga lulus seleksi pertukaran mahasiswa.
Rena menyengguk dan mengenalkan temannya itu pada orangtuanya. "Namanya Ninda. Aku paling dekat sama dia di antara peserta yang lain."
Bapak mengangguk-angguk. "Boleh minta nomor telepon kamu, Nin?"
Satu detik usai pertanyaan itu diucapkan, Rena terperangah. Alisnya terangkat, lalu saling tatap dengan Ninda yang tampaknya juga memiliki kebingungan yang sama.
Melihat tingkah kedua gadis ini, bapak seakan paham dengan apa yang dipertanyakan tanpa diucapkan. Jadi ia menambahi kalimat penerang, "Kalian kan nggak punya pendamping dari Indonesia. Jadi om nggak punya pegangan nomor lain kalau Rena kenapa-kenapa. Ya jangan sampai kenapa-kenapa juga, sih. Tapi seenggaknya, om bisa sedikit lebih tenang kalau ada kontak darurat."
"Oh, boleh banget, Om." Ninda segera mengonfirmasi persetujuan. Ia siapkan ponsel dan Rena memperhatikan gerak-gerik jemari Ninda yang membuka fitur kontak. "Biar saya aja yang ketik nomor Om."
Bapak pun menurut dan setelahnya Ninda menghubungi kontak tersebut agar Bapak bisa menyimpannya.
"Nanti jangan sering-sering ganggu Ninda ya, Pak. Mentang-mentang punya nomornya, takutnya Bapak malah teleponin terus," sungut Rena dengan maksud bergurau. Ia juga sebetulnya sedikit malu pada Ninda.
"Makanya kalau orangtua telepon ya diangkat. Jangan sampai harus ke Ninda dulu baru tahu kabar kamu."
Rena meringis seraya menggenggam kedua tali ransel di sisi pinggangnya. "Rena pasti angkat kok, Pak. Tapi ya jangan sering-sering juga."
"Kita cuma hubungin Adek sesekali. Nggak bakal mengganggu kegiatan Adek di sana. Lebih bagus lagi Adek duluan yang hubungin kita," Ibu menimpali, sementara Rena hanya mengangguk-angguk pasrah. "Ninda, tolong jaga Rena, ya."