A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #5

4 || Tiba

"Welcome to Japaaan ...!"

Cila berlari-lari kecil sembari menarik koper dan merentangkan sebelah lengan, disusul Sasa yang baru saja keluar dari pintu pesawat. Mereka sohib paling heboh di antara rombongan pertukaran mahasiswa dari Indonesia. Satu per satu peserta lain mengekori, memandang takjub pada keadaan sekitar sekaligus bangga. Saat ini mereka masih berada di lorong penghubung pintu pesawat dengan gedung terminal bandara yang biasa disebut garbarata. Meski begitu, suasananya sudah membuat mereka seperti berada di alam mimpi. Tentu saja demikian, karena masing-masing dari mereka begitu perdana menginjaki Negeri Sakura ini. Bahkan sebagian besar belum pernah sama sekali ke luar negeri, seperti apa yang Rena rasakan.

"Yok, yok, kita foto dulu di sini, guys!" Andra mengarahkan teman-temannya menuju background Disneyland Tokyo saat sudah sampai di gedung terminal. Mereka antusias berkerumun, bersenggol-senggolan seperti anak kecil yang memperebutkan posisi terbaik. Andra mengatur dari depan. Setelah semuanya rapi, ia teringat sesuatu. "Tunggu deh. Ini yang moto siapa? Mana gue lupa bawa tripod."

"Ya elu laaah ...!"

Serempak teman-temannya berseru. Andra merengut dan hendak memberi bantahan, tapi akhirnya menyetujui. "Okelah. Dua kali foto, abis itu gantian."

Andra mengambil ponsel kemudian mengarahkan mereka untuk mengubah pose di jepretan kedua. Seperti permintaannya tadi, Andra meminta yang lain untuk menggantikannya berposisi sebagai fotografer.

"Coba minta tolong turis lain aja, biar kita kena foto semua!" celetuk Cila sebelum Andra secara acak menyebutkan nama untuk mengalihkan posisinya.

"Heh, ini negara orang, bukan di Indonesia. Elu sebagai tamu kaga sopan amat minta-minta difotoin sama warga asing," sergah Sasa sang sohib yang jika sudah berbicara seperti sambal level lima.

"Ya udah kalau gitu lu aja sono yang gantiin si Andra."

"Ya jangan gue juga!"

"Excuse me ...."

Perdebatan mereka terinterupsi. Serempak mereka cepat menoleh, takut kalau-kalau petugas setempat yang menegur dan mereka hendak diberikan sanksi karena sudah menyebabkan keributan.

"Yes, Sir." Andra yang menyahut . Ia berada di depan sehingga didekati orang itu.

Ternyata bukan seorang petugas. Melainkan seorang turis sama seperti mereka, dengan jaket tebal juga koper tergenggam di tangan.

"Sorry, would you help us to take a picture, please? After that, we can change the position. I would help you guys to take a picture."

Cila dan Sasa saling berpandangan. Lalu sudut bibir tertarik, seakan sedang berbicara melalui telepati. Turis itu rupanya memperhatikan mereka yang kesulitan dan memanfaatkan hal ini untuk bersimbiosis mutualisme. Tak penting karena paham bahasa Indonesia atau bukan. Yang terpenting mereka bisa berfoto bersama.

"Okay, we make a deal." Andra menjabat tangan pria itu lantas mengambil kamera DSLR yang diserahkan padanya. Ia memberi arahan posisi serta pose pada sang pasangan turis, bersikap layaknya fotografer sungguhan. Setelah itu, mereka pun berganti posisi. Andra tampak bahagia berlari ke tengah-tengah temannya. Ia jatuhkan diri dengan pose duduk seraya merentangkan lengan.

Hampir setengah jam berlalu, mereka kembali melanjutkan perjalanan menuju meeting point lobi bandara. Ponsel terus ternggenggam pada tangan masing-masing lantaran tak mau ketingalan satu pemandangan pun yang dirasa perlu diabadikan.

Rena juga turut menggenggam ponselnya. Namun, ia hanya memotret satu sampai dua kali, karena selebihnya digunakan untuk memandang khidmat pada penelusuran di tiap langkah. Beragam petunjuk bertuliskan huruf-huruf Jepang campuran antara kanji[1], hiragana[2], dan katakana[3] memenuhi bandara. Gadis berambut sebahu ini tak henti-hentinya menoleh ke kanan-kiri, menelusuri rupa tiap inci dari tempat ke tempat. Ia perhatikan toko-toko penjual pernak-pernik yang tertata dengan sangat rapi nan elegan selayaknya tenant pada sebuah mall. Ia tatap orang-orang yang berkumpul dengan teratur, ia resapi sebentar percakapan orang-orang berwajah asia timur yang sedang berlalu-lalang. Atmosfer ini ... terasa begitu intim baginya. Hati kecil Rena berkata bahwa ia pernah berada di tempat ini, tapi ia sama sekali tak ingat.

“Eh, itu bukan sih koordinator kita?"

Salah seorang peserta dari kelompok mereka, menunjuk seorang wanita di kejauhan. Wanita itu memegang papan bertuliskan nama program pertukaran mahasiswa ini diikuti dengan kata "Indonesia” yang diletakkan tinggi-tinggi di atas kepala.

Lihat selengkapnya