Nin, gue pergi keluar sebentar. Kalau mau berangkat ke Univ. Waseda, tolong kabari, ya.
Pesan singkat itu terkirim ke nomor ponsel Ninda. Sambil berjalan menyusuri trotoar pada jalan di sekitaran penginapan, Rena masukkan kembali ponsel ke dalam tas selempang. Semalam ia sudah menyiapkan tas ini untuk pergi ke kampus. Isinya terdiri dari satu buku tulis tebal, satu kamus, kacamata, dompet, tisu, novel yang masih dibacanya, serta kotak P3K kecil yang merupakan bekal dari ibunya. Ia juga membawa satu syal buatan ibu untuk berjaga-jaga jikalau udara makin dingin hingga lehernya mesti ditutupi. Ada tiga syal yang ia bawa ke Jepang. Yang satu ini dibuat paling baru dan tanpa corak.
Sejak pagi-pagi sekali Rena sudah terbangun. Usai salat subuh, yang biasanya ia tidur kembali, kini meluangkan waktu untuk menyapa segarnya udara pagi. Ia sebenarnya ingin mengajak Ninda, tapi takut kalau-kalau temannya itu masih tertidur pulas. Ia tidak mau mengganggu saat-saat berkualitas dari perantau yang kelelahan.
Hampir mendekati persimpangan, Rena mendengar kikihan anak kecil di belakangnya. Kemudian mereka melintas dengan masing-masing sepeda. Satu laki-laki, satu lagi perempuan. Mereka berbelok ke arah taman di depan persimpangan. Entah bagaimana secara otomatis kaki-kaki Rena mengikuti mereka. Memasuki gerbang pagar, ia tatap sekeliling taman. Ia perhatikan sebentar sampai menemukan kedua anak tadi. Mereka sedang bermain pada ayunan kotak dengan dua kursi yang berhadapan, tertawa-tawa selagi menggoyangkan ayunan itu.
Pelan-pelan Rena mendekat. Ia merasakan kehangatan kedua anak itu merasuk ke dalam dirinya. Merasakan sesuatu yang membawanya pada nostalgia. Sambil terus memperhatikan mereka, ia bersandar pada pembatas dinding beberapa meter jauhnya dekat ayunan tesebut. Salah satu di antara kedua anak itu melihatnya. Kemudian berbisik pada temannya. Kini mereka menatap Rena, membuat gadis berambut sebahu itu salah tingkah. Maka ia alihkan pandangan ke arah lain.
Kedua anak tadi turun dari ayunan, kembali mengambil sepeda mereka. Masing-masing menuntun dengan cepat sambil melirik-lirik Rena. Mereka saling bertatapan lagi, tapi kedua anak itu tidak mengalihkan pandangan.
"Henna gaijin ne." [Orang asing yang aneh, ya.] Si anak perempuan berbisik lagi. Mereka lalu menaiki sepeda begitu mendekati pagar, menggowes cepat meninggalkan Rena.
Rena menghela napas pelan. Ia paham apa yang dibicarakan mereka tadi dan ia jadi merasa bersalah karena sudah memberikan kesan yang tidak baik di hari pertama ini. Selepas kedua anak tadi pergi, ia perhatikan sekeliling. Bertanya-tanya, apakah tempat ini juga punya andil pada kenangan masa kecilnya. Matanya terus menyusuri, tetapi ia tidak menemukan sesuatu seperti yang ia rasakan saat dua anak tadi masih berada di sini.
Apa kakakku itu laki-laki, dan ada hubungannya dengan ayunan kotak?
Rena hanya bisa berspekulasi. Tidak ada petunjuka apa pun dari orang tuanya selain ia pernah punya seorang kakak dan kenangan buruk di Jepang. Pernah suatu hari Rena menyinggung soal jenis kelamin kakaknya, tetapi ibu malah menjawab, "Pokoknya kakak kamu itu cakep, deh. Persis kayak kamu." Rena hanya mengangguk-angguk dan kemudian ibu segera menyuruhnya membeli bumbu dapur di warung sebelah rumah.
Setelah mengetahui kenangan bersama kakaknya itu ada di Jepang, Rena juga bertanya mengenai tempat-tempat apa saja yang kiranya pernah mereka kunjungi. Namun, bapak terus mengelak, "Jepang itu luas dan banyak tempat bagus di sana. Kamu senang-senang aja, jangan jauh-jauh dari teman kamu, dan jangan pikirin yang macam-macam."
Rena mendesah pasrah. Merasa bosan, ia rogoh saku demi mengambil sebuah permen. Ia tengadahkan wajah setelah mengemut permen itu, menatap pergerakan awan di langit sana. Lalu, ia teringat sesuatu. Sontak ia mengecek waktu di pergelangan tangan yang belum diubah sejak kedatangan di Tokyo. Masih pukul 05.15 WIB. Pukul tujuh waktu Jepang. Dua jam lagi ia harus berada di Fakultas Sastra, Seni, dan Ilmu Pengetahuan Universitas Waseda. Tiga hal yang tergabung dalam satu fakultas dan ketiganya tersebut menjadi nama fakultas. Kalau di Indonesia mungkin sebutannya Fakultas Ilmu Budaya. Jauh lebih simple.
Rena masih punya banyak waktu untuk menikmati pagi pertamanya di Jepang. Kaki jenjangnya melangkah keluar taman lantas kembali mengelilingi komplek sekitar penginapan. Makin siang justru udara makin dingin. Rena merapatkan mantel hitamnya, juga mengeluarkan syal kemudian dililitkan ke leher. Ini musim dingin yang kering. Salju belum turun. Hanya angin yang kian kencang dan menerbangkan rambut hingga menutupi wajahnya.
Dari arah belakang, terdengar ketukan cepat dari sepatu yang bergesekan dengan lantai semen. Seseorang tengah berlari. Ia hendak menoleh, tapi kemudian topi sejenis porkpie hat terbang melintasinya lantaran terbawa angin. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba ia terdorong hingga membuatnya tersentak. Permen yang sedang dikunyahnya pun terpental jatuh, menggelinding hingga ke dekat pembatas jalan.
“Dapat!”
Anak yang tadi mendorong Rena melompat. Setelah berhasil meraih porkpie hat, anak itu jatuh tersungkur. Lutut serta sikutnya menciumi lantai beraspal.
“Kelvin!” Seorang gadis yang juga dari belakang Rena, berlari menghampiri anak itu. “Duh, kamu nggak usah sampai segitunya ngejar topi aku. Jadi jatuh, kan.” Ia membantu sang anak untuk bangkit.
Perhatian Rena terarah pada mereka. Tungkainya pelan menuju permen yang jatuh tadi, tapi netranya lebih banyak melirik kedua orang itu. Ia tarik selembar tisu dari tas untuk mengambil permen. Karena tidak ada tempat sampah, jadi ia simpan dulu ke saku mantel. Ia curi dengar percakapan si gadis berambut panjang itu, dengan anak laki-laki yang tadi disebut bernama Kelvin. Terdengar samar-samar. Tapi sudah jelas menggunakan Bahasa Indonesia, dan tadi Rena sempat melihat wajah si gadis berambut panjang.
Kelvin merintih ketika bagian kotor dari jeans yang menciumi aspal dikebas oleh gadis itu. "Oh, maaf! Di situ sakit ya, Vin?" Sang gadis terdengar panik. "Haduh ... mana aku lagi nggak bawa obat."