Kaki-kaki jenjang beralaskan sepatu sejenis boots itu melewati jalanan berlapis batu alam. Berlari-lari dengan tergesa. Berhenti sebentar untuk memastikan apakah benar ini tempat yang dituju, lantas berlari lagi.
Rena merunduk. Tangannya bertopang pada lutut, mengatur napasnya yang terengah. Kini ia telah berada di depan gedung bertingkat lima belas. Kanan-kiri gedung besar ini diapit oleh dua bangunan lain —di kirinya gedung bertingkat enam yang sama-sama berlapis kaca, di kanannya ada bangunan berlantai dua berlapis bata yang bagian bawahnya terbuka, berfungsi sebagai ‘penyambut’ orang-orang yang akan memasuki fakultas kesusastraan. Setelah bertanya-tanya kesana-kemari, akhirnya Rena sampai juga di fakultas ini. Tak terlalu jauh dari penginapan. Jaraknya sekitar sepuluh menit jika berjalan kaki, dan ia berhasil menghabiskan waktu lebih cepat dari itu.
Ia sudah masuk ke dalam fakultas. Ditelusurinya koridor lalu melihat wanita berambut sebahu memunggunginya, tepat di depan ruang kelas paling ujung. Juga beberapa wanita dan pria lain yang berpakaian formal ala-ala pegawai kantoran. Matanya dipicingkan karena merasa familiar dengan si wanita berambut sebahu itu. Kalau dilihat dari belakang begini, rasanya seperti koordinator untuk timnya yang ia temui semalam. Ya, ingatan Rena tidak begitu tajam dalam mengenali orang lain dan semua ini berkat mata minusnya. Bahkan teman-temannya saja sering salah dikenali. Rena sangat tidak percaya diri dengan tampilan fisiknya jika memakai kacamata. Jadi hanya ia kenakan pada saat-saat tertentu seperti saat belajar atau mengerjakan tugas di depan layar. Ia sendiri tidak mau memakai softlense karena takut matanya semakin rusak. Oleh karena itu, ia lebih sering kesusahan sendiri.
Jarak Rena sudah cukup dekat ketika wanita berambut sebahu itu merasa sedang diperhatikan. Wanita itu merasakan kehadiran seseorang yang lain di belakang punggung, dan saat menoleh, justru seseorang itu yang terkejut begitu melihat wajahnya.
“Okurete, sumimasen!" [Maaf saya telat.] Begitu dapat memastikan sang koordinator, Rena pun lantas menunduk sembilan puluh derajat seperti kebanyakan orang Jepang ketika meminta maaf atau memberikan penghormatan.
“Ah, you are the participant from Indonesia, right? Why have you come late?”
Padahal Rena berharap koordinatornya membalas dengan Bahasa Jepang pula, malah ia disodorkan dengan pertanyaan berbahasa Inggris. Bukan berarti ia lebih jago jika menggunakan Bahasa Jepang —tidak, sama sekali tidak demikian —hanya saja Rena ingin menguji kemampuannya sendiri.
Beberapa orang di sekeliling sang koordinator menujukan mata mereka pada Rena. Hal yang lebih memalukan bukanlah keterlambatannya, melainkan dirinya yang tergagap menyusun kata yang akan diucapkan dalam Bahasa Inggris —dan tadi koordinatornya sudah menyebutkan asal negaranya.
“Okey don’t worry. The lecturers have just entered the classroom. But next time don’t repeat it again, okey.” Sang koordinator sepertinya tahu betapa bingungnya Rena yang ingin menanggapi pertanyaannya. “Hai, douzo ohairi kudasai." [Baiklah, kalau begitu silakan masuk.] Ucapan terakhir ini menandakan bahwa wanita itu hanya akan berbicara dengan Bahasa Jepang untuk pernyataan sederhana. Ia menghormati dan memahami betul bahwa Bahasa Inggris lebih dikuasai oleh para peserta daripada bahasa ibunya. Daripada mis-komunikasi, lebih baik gunakan bahasa yang mudah dimengerti saja.
Setelah mengucapkan terima kasih, perlahan Rena melangkahi ambang pintu. Bentuk ruangan ini memanjang vertikal, dengan satu whiteboard besar di depan, satu layar proyektor di sisi kanan, dan kursi-kursi yang terlihat seperti kursi elit kantoran. Tujuh orang berwajah intelektual berdiri di depan sana. Beruntung para peserta pertukaran mahasiswa duduk memunggunginya, karena jika tidak pasti ia sudah menjadi pusat perhatian. Ia sempat membungkuk sesaat tanda permintaan maaf pada orang-orang di depan sana yang sepertinya adalah para petinggi fakultas ini.
“E’, kita bakari gakusei ga aru ne. Haik, douzo douzo. Kara no isu ni osuwari kudasai." [Eh, ada mahasiswa yang baru datang. Oke silakan silakan. Duduklah di kursi yang kosong.]
Sial, kini semua peserta memutar kepala mereka demi mengetahui siapakah yang dimaksud pria berambut putih itu. Nasib Rena sebenarnya bisa dianggap beruntung karena masih bisa disambut sehangat ini setelah melakukan kesalahan. Merasa malu akan tatapan dari puluhan orang di kelas ini, Rena pun kembali menunduk (sedikit) sambil meringis. Sementara mulutnya mengisyaratkan kata “sumimasen”.
Kursi-kursi di kelas ini diletakkan berdempetan di tiap barisnya, menyisakan akses di sisi kanan dan kiri ruangan. Namun, tiap banjarnya diberi sedikit jarak. Cukuplah untuk keluar-masuk kursi tanpa harus menunggu orang yang berada paling ujung dulu untuk berdiri.