A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #8

7 || Sang Idola

Rena tak bisa memercayai pendengarannya kala tersebut nama itu. Izar, nama panggilan dari Gavin Eezar, penulis idolanya. Dan ia baru teringat pernah melihat rupa cowok ini di linimasa media sosialnya.

Iya, Rena ingat. Pernah sekali ia mendapati foto teman satu komunitas menulis, berpose bersama seorang pria tinggi di sebuah acara meet and great. Foto itu diposting di laman facebook pribadi. Pada caption tertulis, “Idola semua kaum. Tampan dan berjiwa seni terutama di bidang literasi. Gavin Eezar.” Sayangnya selang beberapa waktu kemudian foto itu tidak muncul lagi. Mungkin diprivasi. Mungkin sang pemilik lupa bahwa seorang Gavin Eezar sangat tak ingin wajahnya terpublikasi.

Teman-temannya berbaris untuk berkenalan dengan pemuda yang tampaknya paling tinggi di ruangan itu. Rena juga berbaris, dengan ekspresi biasa saja, dengan pandangan yang biasa saja meski ia begitu terkejut —dan tentunya sangat senang —bertemu dengan penulis favoritnya itu di universitas yang menjadi tempatnya belajar selama dua pekan ke depan. Ia tidak pernah tahu sang idola bersekolah di sini. Seorang Gavin Eezar terlalu tertutup dengan kehidupan pribadinya.

Bahkan meski tahu sedang sama-sama berada di Jepang, Rena tak pernah berharap akan menemuinya di sini.

Tiap kali ada kesempatan meet and greet di Jakarta saja selalu ada halangan yang membuatnya tak bisa datang. Acara mendadaklah, mengejar deadline tugaslah, bantu-bantu ibu di rumahlah .... Sekalinya ada waktu, lokasinya jauh di luar kota. Jadi begitu mereka dipertemukan di sini, tak bisa dibayangkan lagi betapa senangnya Rena.

Gadis berambut pendek ini bukanlah tipe orang yang dengan mudah memperlihatkan apa yang ia rasakan lewat raut wajah. Atau tipe orang yang mudah mengekspresikan kebahagiaannya di depan orang lain. Ia bukan tipe penggemar yang jika bertemu dengan sang idola langsung menyapa heboh, minta tanda tangan, lalu selfie. Ia tak pandai mengekspresikan semua itu.

Giliran Ninda yang berada di depannya berkenalan dengan Izar. Mereka sempat saling melemparkan candaan sebentar, tapi tetiba pandangan pemuda itu beralih ke Rena, berhasil membuat gadis itu salah tingkah dan menunduk.

“Rena.” Tangan kurusnya bergerak perlahan menjabat tangan Izar. Matanya menatap dengan wajar serta sunggingan senyum yang mudah-mudahan tidak terlihat aneh. Tangan cowok itu besar, dan hangat. 

“Kamu yang di bandara kemarin, kan?”

Sontak Rena mengangkat wajah. Akhirnya ia memberanikan diri menatap rupa tampan itu demi menggali ingatan.

"Lho, jadi sebelum ini kalian pernah ketemu?" Sahut Cila setengah heboh.

"Iya, waktu itu saya lagi buru-buru, dan nggak sengaja nyenggol dia." Izar alihkan lagi pandangannya pada Rena. "Saya betul-betul minta maaf, malah ninggalin kamu gitu aja."

Rena merasa lidahnya seperti sedang dihipnotis sehingga sangat kaku untuk digerakkan. "I-iya. Nggak apa-apa, Kak." Kemudian ia menepi untuk memberi giliran pada temannya yang lain.

Setelah semua selesai berkenalan, Izar mengumumkan, "Jadi, teman-teman, saya akan memandu kalian berkeliling Universitas Waseda. Berhubung sebentar lagi waktunya makan siang, jadi nanti kita sekalian mampir di kantin, oke?”

“Oke, Kak!”

Let’s go!” Izar melangkahkan kaki-kaki jenjangnya, mendahului rombongan asal Indonesia. Para peserta mengikuti dengan langkah santai. Perjalanan mereka diiringi obrolan remeh-temeh seperti “Gimana perasaan kalian bisa ke Jepang?”, “Sampai jam berapa?”, dan pertanyaan “Gimana perkuliahan di Jepang?” “Rindu gak sama Indonesia?” yang dilontarkan bergantian antara Izar dengan para peserta.

Hari ini suasana kampus begitu ramai. Pada sisi sebelah barat banyak mahasiswa memadati jalan demi melihat pertunjukan cheerleader. Sisi lainnya mempertontonkan tarian hawai dari sepuluh orang gadis yang melakukannya dengan sangat indah. Ada juga sekumpulan mahasiswa yang sedang mempromosikan sesuatu.

Rombongan dari Indonesia berhenti di depan sebuah gedung bergaya Eropa. Bentuknya persegi panjang, tertempel menara di sisi kanannya yang pada bagian atas terdapat jam bulat di keempat sisinya —persis Big Ben di London.

“Ini Okuma Auditorium. Biasanya digunakan untuk acara kelulusan atau penerimaan mahasiswa baru,” terang Izar yang kemudian menjelaskan sejarahnya, hal-hal yang menarik di baliknya, disertai gesture yang membuat rombongannya betah berlama-lama mendengarkan penjelasan itu.

Dari sana mereka beranjak ke galeri seni yang terletak di arah tenggara Okuma Auditorium. Fasad[4] bangunan itu terlihat sangat unik, penuh akan ukiran dan lagi-lagi seperti bangunan seni ala Eropa. Dari luar saja sudah diperlihatkan banyak ornamen seni yang menghiasi bangunan itu. Beranjak ke utara, ada supermarket yang khusus menjual perlengkapan kampus, dan juga beberapa restoran tak jauh dari sana.

Melewati berbagai tempat dengan visualisasi yang menyegarkan mata sangatlah sayang jika tidak diabadikan. Maka dari itu sepanjang perjalanan yang mereka lalui tak luput dari selfie sana-sini, potret sana-sini, juga pembuatan video ala-ala dokumenter pendek. Meski itu juga yang diinginkan Rena, tetapi ia menahan diri agar dapat memotret sekali-sekali saja. Pasalnya, memori ponselnya sangat tidak mendukung hasrat itu. Ia harus pintar-pintar menjaga kapasitas memori ponsel agar bisa digunakan sampai hari terakhir. Yang lain juga moto. Gampanglah nanti bisa minta ke mereka, pikirnya.

Lelah berkeliling, pukul dua siang waktu setempat akhirnya mereka singgah di kafetaria tak jauh dari Okuma Garden. Makanan di sana tergolong murah. Para peserta bergumam senang saat menilik harganya karena cukup bersahabat dengan kantong mereka. Terkhusus makan siang, mereka harus menanggung biayanya sendiri.

Itadakimaaasu!" [Selamat makan!]

Rombongan ini serempak menyerukan ungkapan yang biasanya dituturkan orang Jepang saat hendak makan. Sebelum itu, mereka juga sudah berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Perbedaan ekspresi terlihat jelas ketika mencicipi makanan yang mereka pesan. Ada yang mengecap sambil meringis, ada yang mengangguk-angguk khidmat tanda menyukai pesanannya, ada juga yang tanpa ekspresi, seperti Izar. Wajar saja, dia sudah berbulan-bulan berada di Jepang, sehari-harinya berada di Waseda, jadi pasti sangat terbiasa dengan makanan di sini.

Sambil menikmati santapan mereka, tentu kurang lengkap rasanya jika tak diselingi dengan obrolan. Ekor mata Rena menangkap dua orang gadis mengobrol dengan Izar. Ialah Sasa dan Cila. Wajah mereka berseri-seri—antara senang telah berjalan-jalan keliling kampus atau senang bisa berhadapan dan mengobrol dengan cowok tampan —sementara Izar tetap kalem. Rena juga ingin mengobrol dengan idolanya seperti itu.

Sorry, saya angkat telepon dulu ya. Sinyalnya di sini lagi kurang bagus.” Izar berpamitan pada dua gadis yang sebenarnya masih ingin berbincang dengannya.

“Oh, oke.”

Bola mata Rena mengawasi ke mana pemuda tinggi itu pergi, yang kemudian jejaknya menghilang setelah membuka pintu kantin dan menjauh. Pemuda itu tak kunjung datang sampai ia selesai makan. Ia yang penasaran beranjak ke pintu itu, berdalih ingin mencuci tangan yang kebetulan letak wastafel berada di luar. Dan ia menemukan Izar di dekat pohon, beberapa meter jaraknya dari wastafel, membelakanginya, masih berbicara dengan orang di seberang telepon.

Kok lama betul ya? Apa nggak habis-habis pulsa orang yang nelpon? Rena bertanya-tanya sambil membasuh tangannya dengan sabun.

“Dor!”

Tubuh Rena berjengit. Bukan hanya karena kejutan dari suara itu, tapi juga karena punggungnya ditepak dengan keras.

Sialnya Izar sempat menengok sesaat padanya, hanya sebentar, tak sampai dua detik, kemudian memalingkan wajahnya dan asyik mengobrol lagi di ponsel.

Rena membulatkan mata sejadi-jadinya pada dua orang yang hampir membuatnya tersungkur tadi —Ninda dan Sasa.

Lihat selengkapnya