A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #9

8 || Sebuah Karya

Hal yang paling membahagiakan bagi mahasiswa seperti Rena adalah keberadaan fasilitas wifi. Namun, jangan harap mendapatkan jaringan yang oke terlebih di penginapan seperti yang ia huni saat ini. Sudah gratis, jadi jangan protes. Ini masih lebih mending daripada harus membeli sim card khusus wifi yang harganya di atas tiga ratus ribu rupiah. Toh, ada beberapa tempat umum juga di Jepang yang menyediakan wifi gratis, jadi tidak perlu ambil pusing untuk permasalahan yang satu ini. 

Rena sebetulnya ingin membuat panggilan video untuk orang tuanya lagi. Namun dikarenakan sinyal wifi masih kurang stabil, jadi ia beralih ke fitur chat saja. Pesan dari Fara memenuhi bucket chat dan bertengger di paling atas. Karena penasaran dan tidak mau sabahatnya itu makin membanjiri aplikasi chatnya, maka ia mengetuk pesan itu terlebih dulu. Fara mengirimkan banyak pesan yang pada intinya menanyai kabar Rena, bagaimana kesan pertama di Jepang, apa yang sudah dilalui sampai sekarang, dan sejenisnya.

Rena tersenyum geli. Belum apa-apa saja gadis itu sudah heboh. Bagaimana kalau Rena beritahukan bahwa ia bertemu dengan penulis favorit mereka, ditambah malam ini, ia sudah seperti diajak kencan oleh Izar. Fara juga menyukai karya-karya Gavin Eezar sepertinya. Mereka sering berdiskusi tentang novel-novel Izar. Rena makin tak sabar membagi kebahagiaannya pada Fara.

Dengan kegembiraan yang membuncah, Rena mengetikkan kalimat yang merangkum semua pertanyaan Fara. Tak lupa ia tambahkan pernyataan klimaks yang ia yakini akan membuat Fara amat terkejut.

Satu menit berlalu, tak ada balasan dari Fara. Tapi ada tanda centang dua berwarna biru yang menandakan pesannya sudah dibaca. Rena bertanya-tanya apa saat ini Fara sedang benar-benar terperanjat atau bagaimana sampai-sampai tidak membalas pesannya, padahal semula gadis itu yang begitu getol meminta respons darinya.

Di menit kedua, layar ponsel Rena memunculkan panggilan masuk. Dari Fara.

[Renaaa!!!] Suara Fara melengking di balik telepon. Ia hendak mencecar Rena, tapi Rena segera memotong.

"Sabar, sabar. Kasih salam dulu, atuh. Kebiasaan deh kalau lagi menggebu-gebu suka lupa ngasih salam atau nggak ngasih kesempatan orang buat balas salam."

[Oh, iya.] Fara terkekeh malu. [Assalamu'alaykum.]

"Wa'alaykumussalam."

Usai memastikan tak ada lagi yang bisa Rena sanggah, Fara memberondongi banyak pertanyaan heboh. [Sumpah, ya, lu beneran ketemu sama Bang Izar di sana? Di Indonesia aja kita ngejar-ngejar event yang ada dianya melulu tapi nggak pernah kesampean buat ketemu. Gila sih. Ini lu namanya double hoki. Udah mah ke Jepang gratis, ketemu idola pula. Haduh ....]

Rena mengulum tawa selama Fara mengoceh. "Terus lu iri, ya?"

[Ya nggak-lah! Pake nanyak!] Fara menekankan kata 'nggak' karena situasi sebenarnya adalah seperti yang Rena katakan. Kemudian ia menghibur diri sendiri dengan berujar, [Nggak apa-apa, sekarang iri dulu. Tapi itu harus memotivasi gue supaya bisa kayak lu juga dong.]

"Nah, cakep!"

[Tapi kalau bisa harus lebih dari elu lah.]

"Nah, mari kita bersaing sehat."

Lihat selengkapnya