A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #10

9 || Menanti Malam

Tap tap tap ....

Alas pantofel yang dikenakan seorang pemuda bergesekan dengan lantai marmer. Suara ini terdengar rapat-rapat, karena sang pemilik kaki jenjang itu berlarian dengan terburu-buru.              

Izar, si pemilik tungkai jenjang itu, melirik jam di pergelangan tangan. Angka yang tercantum membuat matanya melebar. Pukul 21.40.

Ia pelankan langkah begitu sampai di depan Toyama Mansion. Lantas menghela napas, lalu menyandarkan pinggangnya pada horizontal bar. Kepalanya menengadah, sementara kedua tangan bersangga pada horizontal bar itu.

“Jam segini ... mungkin dia sudah tidur.” Sedetik kemudian wajahnya merunduk. Ia tersenyum kecut. “Ngapain juga ya janjian malam-malam.”

Izar tak pernah tahu pertemuan klub hari ini memakan banyak waktu hingga malam sekali. Tetapi seharusnya ia tahu malam hari bukanlah waktu yang tepat untuk membicarakan hal penting dengan orang yang baru saja dijumpai. Apalagi di area sekitar penginapan, jam segini sudah cukup sepi. Bahaya juga jika Rena berlama-lama menunggunya di luar. Kira-kira apa ya, yang dipikirkan gadis itu atas permintaannya yang ingin bertemu malam-malam begini?

Ia sudah tak mampu berpikir lagi. Tubuhnya sudah sangat lelah. Untung saja gadis itu tidak menunggunya sampai selama ini, karena ia pun sebenarnya sudah tidak kuat dan ingin sekali segera bersapa-rindu dengan tilam. Satchel bag yang sedari tadi enggan ia selempangkan, dibopongnya di atas bahu, lalu berjalan memasuki penginapan.

Izar memang mengantuk, tapi ia masih punya energi untuk dapat berjalan dengan tegak dan melihat dengan cukup jelas. Namun, rupanya ada seseorang yang kewarasannya terkalahkan oleh rasa kantuk. Alih-alih beranjak ke kamar untuk beristirahat, orang itu malah bergerak agak sempoyongan menuju lobi.

BUGH!

Satchel bag milik Izar yang isinya cukup penuh, terjatuh. Bahu kanannya tersenggol dengan cukup keras oleh bahu seseorang. Jika tidak sedang kelelahan, mungkin genggaman Izar pada satchel bag-nya tak kan segoyah ini, seberat apa pun isinya.

Ah, pardon me!” Pemuda yang semula mengantuk itu kini seolah mendapatkan energi maksimal. Ia hendak mengambil satchel bag yang terjatuh, tetapi kalah cepat dengan sang pemilik.

It’s okay.” Izar menyunggingkan sedikit senyum, lalu kembali melangkah. Ia berhenti di depan lift, memencet tombol, dan menghilang bersamaan dengan bunyi gesekan pintu yang menutup.

Pemuda berambut acak-acakan itu memperhatikan kepergian orang yang tadi tanpa sengaja disenggolnya. Ia masih mematung sampai lift itu berbunyi ‘ting!’ dan seorang petugas keluar dari sana. Ia yang disuguhkan senyum ramah begitu mereka berpapasan, bingung harus membalas apa, dan malah menggaruk-garuk ujung kepalanya yang tak gatal. Kemudian kembali melanjutkan ‘perjalanan’ ke arah lobi. Entah kenapa kantuk ini membuatnya merasa bodoh.

Lihat selengkapnya