Rena merenggangkan tubuh, menggeliat. Ia yang masih setengah mengantuk menguap tanpa peduli selebar apa mulutnya itu terbuka. Dihirupnya udara pagi yang begitu sejuk dalam-dalam, tetapi sepersekian detik berikutnya matanya membuka lebar. Rongga hidungnya seperti ditusuk-tusuk karena udara pagi ini begitu dingin. Jadi ia buang lagi udara itu banyak-banyak demi membebaskan indra penciumannya dari luka.
“Selamat pagi.”
Ia menoleh ke asal suara sambil memegangi hidung yang gatal dan memerah. Sosok di sampingnya itu begitu tinggi, dengan kemeja putih berbalut sweter v-neck seperti yang dikenakan orang itu kemarin. Yang berbeda hanya warna sweternya. Kemarin maroon, sekarang navy. Dan masih dengan gaya rambut quiff spike yang terkesan berantakan tapi tetap terlihat rapi.
Rena sedikit terkejut karena jarak mereka cukup dekat. Setelah memperhatikan sosok itu, ia lantas menoleh pada bangunan di belakangnya, seolah-olah sedari tadi tidak berada di depan bangunan itu. Dan matanya membulat.
“Lho, Bang Izar ... Bang Izar tinggal di mansion ini?” Ia menoleh lagi pada pemuda tinggi di sisi kanan, sambil menunjuk penginapan yang dimaksud.
“Ya ... begitulah.” Izar memiringkan kepala dengan mimik seolah menjawab sebuah teka-teki.
Kedua mata Rena mengerjap-ngerjap. Bukan hanya bertemu di kampus, ternyata ia juga bisa bertemu dengan sang idola di penginapan. Rena merasa sangat beruntung.
Oh ... oh! Akhirnya ia tahu, alasan Izar mengajaknya bertemu di depan Toyama Mansion pada malam hari. Alasan mengenai tempat dan waktu, maksudnya. Alasan bertemu di Toyama Mansion karena mereka sama-sama menginap di situ. Mungkin pemuda ini tahu dari panitia tempat di mana peserta pertukaran mahasiswa menginap. Dan alasan bertemu malam-malam, ya supaya tidak diketahui teman-temannya tentu saja. Kalau tidak, pasti bakal heboh. Tapi memangnya tidak ada tempat lain untuk bertemu?
“Bang.” Rena melirik Izar dengan tak begitu menengadahkan wajah. Jadi ia hanya meliriknya sebentar karena bola matanya terasa pegal. “Maaf ya, semalam aku ngantuk banget jadi aku nggak tahan lama-lama di luar sini.” Meski sejuta pertanyaan berputar-putar di kepalanya, tapi ia tahu tidak sopan jika langsung membanjiri pemuda ini dengan rentetan pertanyaan.