A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #13

12 || Berbagi Kisah

Restoran kecil di dalam Toyama Mansion, setelah lewat satu jam lebih dari jam buka seperti sekarang ini sudah lumayan sepi. Hanya seperempat dari total kursi dan meja yang terisi, yang kesemuanya adalah rombongan peserta pertukaran pelajar dari Indonesia, ditambah Mila dan Kelvin.

Rena sengaja duduk di meja yang sama dengan kedua teman barunya itu. Alasannya apalagi kalau bukan demi mengorek-ngorek informasi dari gadis yang tiba-tiba memeluk penulis idolanya. Momen romantis Izar dan Mila di depan penginapan tadi terhenti gara-gara ponsel Mila berdering, dan itu dari Kelvin. Sialan memang anak itu, Rena mengumpat dalam hati. Kelvin mencari-cari Mila. Ia tidak mau sarapan tanpa Mila.

Sedangkan Izar, pemuda itu kembali ke habitatnya sebagai mahasiswa. Saat itu Rena masih terbengong-bengong, hingga kemudian memutuskan untuk mengikuti Mila yang sudah melangkah ke arah restoran. Lagipula ia juga belum sarapan.

Setelah duduk di meja yang sama, ia tidak segera mencecar Mila dengan segala macam pertanyaan. Ia tunggu sampai hati gadis itu menenang dulu. Sampai Kelvin datang, sampai teman-temannya yang belum sarapan memasuki restoran dan menyapanya, sampai ia selesai memilih-milih makanan di meja prasmanan dan duduk kembali di meja ini.

“Jadi ...?”

Mila yang sudah memegang sendok dan garpu dan hendak memotong ebi furai[5] di piringnya, terdiam. Ia melirik Rena, kemudian meletakkan kedua alat makannya. Tidak jadi memotong ebi furai.

“Dia kakak kelasku ... sekaligus mantanku sewaktu SMA.” Kedua matanya yang jernih tampak menerawang. “Kami sangat dekat dan sering dianggap sebagai pasangan yang serasi. Tapi rupanya kami nggak ditakdirkan untuk selalu bersama.”

Wajahnya kini merunduk. Sudut dari bibirnya yang tipis terangkat sedikit, tersenyum getir. “Dia lolos SNMPTN, kuliah di perantauan. Kami masih saling kontak kurang lebih setengah tahun. Itu juga jarang-jarang, soalnya aku nggak mau mengganggu kuliahnya.” Ia angkat kedua bahu dengan pasrah. Sementara Rena masih betah mendengarkan. Matanya tetap tertuju pada Mila, tapi tangannya menyendok yakisoba[6] dan mengunyahnya perlahan. “Setelah itu, dia sama sekali nggak menghubungi aku. Sama sekali gak ada kabar dari dia. Teman-temannya juga ...” Mila menunduk lagi, “semuanya hilang kontak dari dia. Aku, 'kan, jadi khawatir. Khawatir banget. Aku takut dia kenapa-kenapa. Dan kekhawatiran ini ada sampai hampir enam tahun.” Ucapan Mila terhenti. Ia mendesah, lalu mengambil sendok dan garpu yang tadi dijatuhkan di atas piring. Lantas memotong ebi furai dalam keheningan.

Enam tahun?!

Rena yang tengah melumat yakisoba di dalam mulutnya, terbengong sekaligus tertegun. Sudah selama itu tak bertemu dan tak saling mengabari tetapi hati Mila tetap tertuju pada Izar. Gadis itu tetap menunggu. Kalau ia mungkin sudah tidak kuat dan lebih baik menyerah saja. Setidaknya itu yang ia pikirkan sekarang. Tidak tahu juga apakah nanti akan menjadi seorang penunggu setia seperti Mila jika suatu saat berada dalam posisi yang sama.

“Gimana sama orang tuanya?” Akhirnya Rena bertanya lagi. “Kak Mila nggak nanya ke mereka?”

Satu potongan ebi furai terkunyah di mulut Mila yang kecil. Perlahan, sambil menerawang demi menjawab pertanyaan Rena. “Pernah sih aku dibawa ke rumahnya, dikenalin ke orang tuanya. Tapi sayangnya mereka juga pindah, ngikut Izar. Aku nggak simpan kontak mereka, lupa.”

“Ikut pindah? Memang orangtuanya kerja serabutan? Atau mereka wirausahawan?”

Mila nampak menerawang lagi. “Kalau itu sih aku nggak tau, ya. Aku gak pernah kepo sama pekerjaan orang tuanya.”

Mila juga bilang bahwa ia tidak tahu-menahu mengenai Izar yang menjadi novelis begitu Rena menceritakan alasannya mengenal Izar.

Rena mengangguk-angguk tanda mengerti. Pantas saja gadis ini terlihat melankolis di depan penginapan tadi begitu bertemu dengan Izar. Seharusnya mereka saling mengklarifikasi. Seharusnya Izar menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sayangnya ....

Lihat selengkapnya