“A long time ago, this is the residence of Tokugawa Shogun[9] warrior.”
Nishida, koordinator rombongan pertukaran pelajar dari Indonesia, menjelaskan tentang istana kekaisaran yang saat ini mereka kunjungi. Bendera warna kuning berlogo lembaga yang menaungi program ini tetap dipeganginya erat-erat seraya menuturkan sedikit sejarah.
“The Tokugawa Shogunate[10] was the military government in the Edo period, about four hundred till a hundred years ago, and the first shogun was Tokugawa Ieyasu.” Nishida yang semula menatap lurus ke depan, menoleh pada rombongan di sisi kirinya. “Have you ever learned about that? You are all Japanese literature student, right? Do you guys also learn about Japanese history?”
“Oh, of course, not only literature, but also history, and culture.” Andra yang menjawab. Ia memang paling tanggap di antara mereka jika ada pertanyaan berbahasa Inggris seperti itu. Berbeda dengan Rena yang mesti lola dulu.
“Tokugawa Ieyasu ... ah, I remember that!” Cila mengacungkan telunjuk di atas kepala. “Ever studied, but always forget.”
“Yeu ... ketek cicak jujur amat.” Sasa menempeleng pelan pipi temannya itu. Sementara Nishida yang tak mengerti Bahasa Indonesia, menanggapi mereka dengan kekehan kecil.
Setelah memberi beberapa penjelasan lagi tentang Istana Kekaisaran Tokyo, Nishida mempersilakan mereka untuk berfoto ria. Masing-masing dari mereka pun berpencar mencari spot paling bagus. Kerikil terhampar luas menyelimuti seluruh jalan di taman ini. Suara bergemeratakan pun terdengar tiap kali melangkah. Rasanya seperti berada di pinggiran pantai walaupun sejauh mata memandang tak ada lautnya sama sekali.
Rena sengaja memutari tubuhnya pelan-pelan. Ia ingin meresapi pemandangan yang indah ini dari berbagai sudut. Mulut dan matanya sempurna membulat, dan di dalam hati tak henti-henti mengucap kekaguman.
Lalu, Rena melihat dua orang temannya masing-masing terduduk di salah satu dari jejeran batu berbentuk bulat pepat yang membelah jalanan berkerikil ini. Mereka sedang asyik berpose. Maka Rena pun berlari menghampiri karena tak mau ketinggalan mengabadikan dirinya juga dalam potret profesional khas kamera DSLR. Mereka berpelukan, melompat, membuat lingkaran dan berputar ... saling bergantian menjadi fotogragrafer dan modelnya.
“Ren, itu temen lu, 'kan?”
Rena yang masih asyik melihat-lihat hasil potret di kamera terpaksa mengangkat wajahnya demi mengikuti arah lirikan temannya. Ada seorang gadis di kejauhan, terlihat sedang menghampiri mereka. Mata minusnya menyipit. Kalau dilihat dari siluet gadis itu, sepertinya memang orang yang Rena kenal.
“Kak Mila, ya?”
“Iya kali Mila namanya. Yang tadi pagi sarapan bareng elu pokoknya.”
“Oh!” Rena terlonjak begitu menyadari dengan jelas siapa gadis yang kini melambaikan tangan padanya itu. Dan ia pun berlari menghampiri.