Sebuah tanda pesan masuk muncul di layar ponsel Izar. Pesan yang berbunyi dengan Bahasa Jepang itu berisi pemberitahuan dari dosennya bahwa salinan novel klasik dan materi untuk bedah sastra nanti sudah diantar ke penginapan. Begitu selesai dibaca, telepon kamar berdering. Panggilan masuk dari receptionist, yang mengabarkan bahwa kiriman paket untuknya sudah sampai.
Izar pun membuka pintu dan beranjak keluar kamar. Diperhatikannya voucher yang tadi diambil dari atas nakas sambil berjalan menuju lift. Ini voucher potongan harga untuk makan di restoran, dan ia mendapatkannya secara cuma-cuma. Tadi siang, dosen mata kuliah budaya kontemporer membagikan voucher ke seluruh mahasiswa di kelas itu. Katanya hasil kerjasama bisnis sang dosen dengan klien baru. Tak tanggung-tanggung, angka yang tertera pada voucher ini sebesar dua ribu lima ratus yen (sekitar tiga ratus ribu rupiah).
Di kelas mata kuliah budaya kontemporer ada tiga puluh orang mahasiswa. Jika ditotal ... ah, Izar tidak mau memikirkannya. Terlalu mengerikan. Selain mengajar, profesornya itu memang aktif berbisnis dan bisa dibilang cukup sukses. Mungkin voucher yang dibagikan itu adalah bagian dari ‘menghambur-hamburkan’ uang yang tidak tahu ingin dikemanakan.
Mahasiswa rantau seperti Izar, tentu senang bukan kepalang dapat sesuatu yang gratis meski hanya berupa voucher sekalipun. Tapi ia bingung juga. Voucher ini punya syarat, bisa ditukar kalau si penukar terdiri dari lima orang. Izar menggeleng-geleng pelan sambil menggaruk kepalanya. Persyaratan macam apa itu?
Biasanya, 'kan, persyaratan penukaran voucher itu adalah minimum pembelian. Kalau nilai vouchernya ribuan yen, biasanya si pembeli diwajibkan membeli sesuatu yang harganya puluhan ribu yen, baru voucher itu bisa ditukar.
Tapi kalau yang Izar dapat dari dosennya ini benar-benar lain daripada yang lain. Bukan apa-apa sih. Selama setahun lebih berkuliah di Waseda, ia cukup banyak mengumpulkan teman, kok. Tapi hanya beberapa orang yang dekat dengannya. Dan orang-orang yang dekat dengannya itu, sudah semuanya dapat voucher ini. Jadi, siapa ya kira-kira yang bisa ia ajak?
“Hei.”
Izar mengangkat wajah, lalu matanya bertemu dengan sepasang manik indah milik Mila. Bibir tipis gadis itu menyunggingkan senyum yang sangat manis hingga membuatnya ikut tersenyum. “Hei, Mila.”
Dengan malu-malu Mila menundukkan wajahnya. Kedua lengannya ia letakkan ke belakang punggung. “Kamu ada waktu? Aku mau bicara ....” Kemudian matanya menangkap sesuatu yang Izar pegang. Sebuah kertas kecil berbentuk persegi panjang, yang di tengah-tengahnya tertera nominal “¥2,500”. Hanya itu yang dapat ia baca, karena selebihnya tertulis dengan kanji. “Apa itu?”
“Oh? Ini ... ini voucher makan.” Izar baru saja mendapatkan pencerahan. Sebuah bohlam seakan menyala di atas kepalanya. “Oh iya, kamu mau membicarakan sesuatu, 'kan? Gimana kalau besok malam saja sambil makan di restoran pakai voucher ini?” Setengah berseri-seri, ia angkat voucher itu.
Gadis di hadapannya menimbang-nimbang sambil menujukan fokus pada benda yang dimaksud. “Mmm ... boleh deh.”
“Nah, tinggal ajak tiga orang lagi, nih. Kalau mau pakai voucher ini, harus ada lima orang.”
Lima orang? Mila berdecak dalam hati. Ia kan inginnya berdua saja dengan Izar. Kalau begitu caranya, percakapan mereka nanti tidak intim lagi, dong. Tapi ... ya sudahlah. “Kalau cuma tiga orang lagi, ajak teman aku saja ya. Aku ke sini bareng dua orang keluarga. Satunya lagi kenalan aku di penginapan ini.”
“Oh, boleh boleh. Kalau begitu nanti kamu bilang ke mereka ya.”
Mila mengiakan dengan senyuman dan sedikit anggukan.
Lift di samping mereka berbunyi. Pintunya bergeser, memerlihatkan bagian dalam yang kosong. Dengan gentle Izar mempersilakan Mila untuk mendahuluinya. Tapi gadis itu mengangkat kedua telapak tangan di atas dada dan menggoyang-goyangkannya.
“Aku nggak turun. Aku mau ke sana,” ujarnya sambil menunjuk ke lorong di sisi kanan.
“Oke.” Dengan terburu-buru Izar masuk ke dalam lift sebelum pintunya tertutup.
Lagi-lagi berpisah secepat ini. Setelah tadi pagi melepas rindu, Mila yang terpaksa harus menghentikan momen itu. Lalu sekarang, pemuda ini. Dan dia terlihat biasa-biasa saja, tidak ada sama sekali antusiasme di wajahnya. Apa sekarang perasaan Izar sudah berubah?