Mereka mengalihkan pandangan dari Izar, dan kembali menatap plang bertuliskan ‘Torafugu Seimon: Genpin Fugu’ itu tanpa berkedip. Setengah sadar, Rena mengatupkan mulutnya yang semula terbuka.
“Kalian bilang terserah saya, 'kan?” Izar terkekeh, berusaha membela diri.
“Tapi yang bener aja, Bang? Kita ... ke restoran Fugu ...?” Rena bergidik ngeri. Memegang ikan jenis Fugu saja ia tidak mau, apalagi harus memakannya. Sekalipun dibayar untuk itu, ia tetap tidak akan mau. Ia masih waras dan lebih menyayangi nyawa daripada uang.
“Kenapa? Restoran ini unik. Ini pasti pengalaman baru kalian, 'kan? Saya juga. Apa salahnya dicoba.” Tidak seperti keempat temannya yang terlihat khawatir setengah mati, Izar malah santai-santai saja.
“Unik sih unik. Tapi ya nggak restoran Fugu juga kali.” Kini Johan yang mengutarakan protes.
“Bang Izar yakin makanan di restoran ini nggak berbahaya? Lihat aja namanya, ‘Genpin Fugu’, berarti menu utamanya Ikan Fugu. Ikan yang terkenal akan racunnya yang mematikan. Apalagi Fugu Macan. Kalau Bang Izar mau bunuh diri jangan ngajak kami.”
Izar menatap satu persatu teman-temannya. Mereka menyodorinya dengan sorot mata memohon untuk tidak masuk ke restoran yang menurut mereka terkutuk itu—kecuali Kelvin. Ia mengulum senyum atas kepolosan mereka, menahan tawa.
“Begini, ya, untuk mendapatkan referensi tentang restoran, tentu saya mencari informasi lewat sumber yang terpercaya.” Izar mendesah sejenak, mengelap matanya yang sedikit berair. “Kalian nggak perlu khawatir. Pemeritah Jepang sudah memberikan peraturan super ketat, jadi juru masak yang sudah dapat sertifikasi keahlian saja yang boleh memasak Ikan Fugu. Jadi pasti aman untuk dikonsumsi.”
Rena, Mila, dan Joe tampak menghela napas lega, sementara Kelvin hanya bersedekap. Sedari tadi memang hanya anak ini yang tidak memasang ekspresi tekejut sama sekali pada wajahnya.
“Jadi gimana? Masih mau makan di sini, 'kan?”
Terdengar dehaman dari Joe. Dia melangkah maju lalu berkata, “Siapa takut. Gentlemen harus berani mencoba ikan ekstrim.”
“Aku juga gentleman! Aku nggak mau kalah dari kak Joe!” Kelvin berlari mendahului Joe, menyikut kakaknya yang hampir memasuki pintu utama.
***
Pelayan restoran meletakkan pemanggang dan panci berisi air beserta kompornya di atas meja, lalu kembali ke dapur dan kembali lagi ke meja itu untuk menghidangkan berbagai jenis fugu. Gerakannya cekatan dan telaten, membuat Rena memerhatikannya tanpa berkedip.
“Douzo omeshi agatte kudasai." [Silakan dinikmati] Pelayan itu membungkuk sambil tersenyum ramah.
“Hai, arigatou,” balas Izar dan ia pun tak lupa menyunggingkan senyum yang tak kalah ramah.
Di hadapan kelima orang ini telah tersaji delapan jenis racikan fugu. Kedelapan jenis masakan ini tergabung dalam satu paket menu seharga tiga ribu lima ratus yen (berkisar empat ratus tujuh puluh ribu rupiah). Izar sengaja memilih menu paketan agar lebih hemat, apalagi paket yang ia pilih adalah yang paling murah. Jadi mereka hanya perlu membayar seribu yen lagi. Jika dibagi lima, maka masing-masing dari mereka hanya membayar sebesar dua ratus yen. Benar-benar hemat, setidaknya untuk ukuran masakan semahal ikan fugu.
“Kayaknya pada ngiler, nih,” ledek Izar pada keempat temannya yang semula bersungut-sungut tak ingin makan Ikan Fugu. Tapi lihat mereka sekarang. Mata mereka berbinar-binar karena tampilan masakan fugu yang sangat menggiurkan. Termasuk Kelvin. Akhirnya Izar bisa melihat ekspresi lain dari anak ini, meski hanya matanya yang mengutarakan ekspresi itu. Mungkin karena sudah terlalu lapar jadi tidak peduli lagi mau bersikap jaim atau tidak, mungkin juga karena anak ini memang benar-benar kagum. Entahlah.
“Aku coba, ya.” Rena bersiap mengambil alat makannya. Ia menarik sepiring fugu kara-age[12] untuk disantap. Setelah berdoa, ia potong fugu itu dengan pisau. Mulutnya membuka perlahan. Dan dengan amat sangat perlahan pula—bahkan lebih lambat dari siput—tangannya yang menggenggam garpu beserta potongan fugu yang tertusuk di ujungnya, bergerak menuju mulut Rena yang menganga cukup lebar. Sementara matanya menatap dengan nanar potongan daging itu. Entah apa yang terjadi ketika daging itu memasuki kerongkongannya. Ia pasrah saja.
Dan akhirnya daging itu sampai di lidahnya. Ia kunyah, ia lumat, ia rasakan sensasinya sebelum kemudian menelannya dengan sangat ragu. Keempat temannya masih menunggu reaksinya tanpa berkedip. Mereka sebenarnya tegang juga.
Setelah berhasil tertelan dengan susah payah, Rena terdiam sejenak. Ia menunggu selama tiga detik sambil menatap wajah teman-temannya satu per satu. Ia sendiri bingung bagaimana cara mengekspresikan apa yang dirasakan saat ini. Yang jelas, Rena benar-benar ... menyukainya.
“Enak banget,” ucapnya datar, seolah apa yang ia rasakan sudah tak bisa diekspresikan lagi baik dengan mimik, dengan kata-kata, maupun dengan nada ucapan.
“Serius?” Joe masih tidak percaya. Namun, setelah melihat Rena yang sepertinya masih sehat-sehat saja setelah menelan potongan ikan fugu, ia jadi penasaran. Ditariknya sepiring shabu-shabu[13] fugu, dan tanpa tingkah-tingkah dramatis seperti Rena ia langsung memakannya setelah dicelupkan ke dalam panci. “Iya bener, enak!”