Joe menutup sebelah matanya serta membentuk sudut L dari jemari kanan, mengukur potret objek yang akan ia gambar. Sudut bibirnya terangkat ketika rambut gadis yang dijadikan sebagai objek itu terbelai indah oleh angin. Ia terpesona. Dengan diterpa sinar mentari pagi, kecantikan gadis itu semakin terpancar. Rambutnya yang panjang dan bergelombang di bagian ujung, berwarna hitam legam, serta senyumnya yang merekah bak bunga matahari.
Siapa yang tidak suka Mila? Gadis cantik yang selalu membuat orang-orang di sekelilingnya bahagia hanya dengan melihat senyumannya yang manis. Bahkan Joe tahu bahwa Kelvin, adiknya, yang baru akan menginjak usia ketiga belas tahun saja benar-benar menyukai gadis itu.
Joe yang semula berdiri, duduk berlesehan beralaskan rumput taman. Ia buka penutup tas selempang, lalu meraih peralatan gambar. Dengan cepat tapi tetap penuh kehati-hatian ia gambar gadis yang sedang duduk di kursi taman itu dan berjarak cukup jauh darinya, berharap tak segera pergi ataupun melihat ke arahnya.
Di sisi lain taman, Rena melangkah melalui jalan setapak berbatu. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku mantel. Di dalam saku mantel itu sudah disediakan dua buah penghangat tangan untuk berjaga-jaga jikalau udara semakin dingin. Juga sehelai scarf buatan ibunya yang berfungsi sebagai pemenuh sakunya saja.
Rena mengedarkan pandangan untuk melihat keadaan taman kampus di pagi hari. Dan matanya menangkap sosok Johan. Langkahnya terhenti. Joe ... lagi ngapain, ya? Ia dekati pohon yang jaraknya tak cukup jauh dari cowok itu. Ia posisikan diri sebagai orang yang sedang bersandar di pohon, bukan orang yang sedang mengintip, agar tidak dicurigai. Kedua lengannya bersedekap. Bola matanya bergerak melirik Johan. Cowok itu sepertinya sedang menggambar. Sesekali Joe mengangkat wajah untuk melihat objek di depannya.
Pandangan Rena mengikuti arah lirikan itu. Oh, jadi Joe sedang menggambar Kelvin dan Mila. Tapi kenapa jaraknya jauh sekali? Kenapa ia tidak mendekat saja? Apa ia tidak mau mereka tahu?
Rena melirik Joe lagi, dan tepat pada saat itu matanya bertemu tatap dengan si pemuda. Ia terhenyak. Untung saja bisa mengendalikan diri dengan baik. Sekuat tenaga Rena tahan matanya untuk tidak terbelalak, dan kembali menatap ke depan dengan tenang.
“Ren?”
Ngapain lu di sini? Rena sudah siap mendengar pertanyaan khas Johan. Namun telinganya tak kunjung menangkap ucapan itu.
“Sini Ren, temenin gue.”
Oke, kali ini Rena girang setengah mati. Bukannya menyapa dengan jutek, tapi cowok itu malah memintanya untuk mendekat dengan manis. Rena bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu? Apa gara-gara Mila?
Masa bodohlah. Ia tidak bisa menolak jika Joe memintanya untuk mendekat. Ia berjalan sambil memainkan ujung jaket dengan jemari. Gadis ini benar-benar kikuk sekarang.
“Duduk dong.” Joe mendongak, merasa risih karena Rena hanya berdiri di sampingnya.
Kedua tangan Rena masih berada di dalam saku. Tetap digenggamnya penghangat tangan dalam saku kuat-kuat meski tak merasa dingin sekalipun.
Perlahan ia turunkan tubuh sambil bertanya, “Jadi ... kalian sudah mulai main ke kampus Waseda, nih?” Rena memulai percakapan demi mengusir ketegangannya sendiri serta mengusir kecanggungan.