A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #19

18 || Pesakit

Napas Kelvin menderu. Tanpa henti ia berlari dan terus berlari dengan tergesa, menjauh meninggalkan penginapan sejauh-jauhnya. Ia merasa tidak punya banyak waktu. Meski sudah sangat kepayahan, kakinya sudah pegal-pegal, perutnya teramat sakit, dan napasnya sudah hampir habis, tapi ia tidak mau berhenti sedikit pun. Ia harus sampai di Stasiun Waseda sesegera mungkin.

Langkahnya baru terhenti setelah berada di dalam stasiun dan mesin pembelian tiket terlihat di depan mata. Ia merunduk, menumpukan berat badan pada kedua tangannya yang menggenggam lutut. Dadanya terlihat kembang-kempis akibat napasnya terembus naik dan turun dengan cepat. Ia mencoba berdiri tegak, tetapi kakinya yang masih lemah tak kuasa menopang tubuh. Dan ia pun terhuyung. Untung saja tiang penyangga di tengah stasiun menahannya. Ia yang lelah, sangat lelah, menyandarkan punggungnya ke tiang itu. Mencoba untuk istirahat sejenak.

Sambil menunggu tenaganya terkumpul kembali, Kelvin membuka selembar peta yang sedari tadi tergenggam di tangan kirinya. Peta itu ia dapatkan dari lobi penginapan. Kelvin tidak bisa menggunakan aplikasi map karena sudah dihapus tanpa sengaja, sementara tidak ada ruang lagi di memori ponsel jika ingin mengunduhnya kembali.

Untung saja penginapannya menyediakan peta dengan penjelasan yang sangat lengkap. Setelah mempelajari peta itu dan menemukan tempat yang dicari, Kelvin menggenggam peta itu dengan sangat kuat sampai ke stasiun ini. Meremas, lebih tepatnya. Jadi wajar saja kondisi peta itu saat ini sangat lusuh dengan kerutan yang menghiasi seluruh permukaan.

Kelvin memastikan kembali tujuannya melalui peta. Dari sini, jika ingin ke Tokyo Midtown, ia bisa transit di stasiun Otemachi setelah itu menggunakan Chiyoda Line menuju stasiun Nogizaka. Atau transit di stasiun Kayabacho, lalu menggunakan Hibiya Line menuju stasiun Roppongi. Tapi jaraknya lebih jauh. Ada dua pilihan lagi ... ah, transit di stasiun Kudanshita, setelah itu menggunakan Hanzomon Line. Jika memilih yang ini maka akan memakan waktu lebih sedikit karena lintasannya tidak begitu panjang.

Setelah merasa tenaganya cukup terkumpul, Kelvin menegakkan tubuh sementara matanya tetap terpaku pada peta di genggaman. Setelah merasa yakin, ia lipat peta itu, lalu dimasukkannya ke dalam saku mantel. Saat hendak melangkah menuju mesin pembelian tiket ekor mata Kelvin menangkap layar pemberitahuan di dinding sebelah kirinya. Ia pun menoleh untuk melihat pemberitahuan itu dengan lebih jelas.

Di sana, terpampang banyak sekali jadwal kereta. Kelvin mendekat dan menyipitkan mata. Ia mencari tujuan transit Stasiun Kudanshita. Dan setelah ketemu, ia mendesah kecewa. Kereta yang menuju ke sana sudah berangkat sepuluh menit yang lalu. Ia mencari tujuan transit dari tiga stasiun lagi yang tadi sudah ditandainya di peta. Kereta yang menuju stasiun Otemachi juga sudah berangkat, begitu pula dengan yang menuju ke stasiun Kayabacho. Waktu keberangkatan masing-masing hanya beda tipis. Tersisa satu stasiun lagi. Kelvin benar-benar berharap pada yang terakhir ini.

Dan ia pun terhenyak.

***

Di hadapan lintasan kereta, Kelvin berdiri dengan gelisah. Ia goyang-goyangkan sebelah kaki sambil bersandar pada dinding peron. Pilihan terakhir dari empat tujuan transit yang ia tandai di peta adalah stasiun Iidabashi. Di layar pengumuman yang tadi ia lihat, kereta yang menuju ke sana berangkat sekitar dua puluh menit lagi terhitung sejak ia berdiri di layar pengumuman itu. Jadi ia cepat-cepat membeli tiket dan kembali berlari hingga sampai di peron ini.

Kelvin yakin hanya memakan waktu tak sampai tujuh menit untuk sampai di sini, ditambah ia menunggu di peron ini selama sepuluh menit, tapi keretanya belum datang juga. Padahal kurang dari lima menit lagi adalah jadwal keberangkatan menuju Stasiun Iidabashi. Seharusnya kereta itu sudah datang beberapa menit sebelum jam keberangkatan, 'kan? Dan sejauh yang ia tahu, bukankah kereta di Jepang sangat jarang terlambat?

Suara berdenging dari pengeras suara terdengar. Setelahnya rentetan pemberitahuan dalam Bahasa Jepang keluar dari sana. Kelvin mengernyitkan kening, tidak mengerti. Jadi ia menunggu sampai pemberitahuan itu selesai dan berganti dengan Bahasa Inggris. Selepas pergantian bahasa pun ia masih kurang paham.

Pemberitahuan itu diulang sampai dua kali, dan barulah ia mengerti. Intinya, kereta yang menuju Stasiun Iidabashi mengalami keterlambatan. Alasan keterlambatannya tidak ia dengar dengan jelas. Sepertinya penyebabnya begitu fatal, karena Kelvin mendengar dengan sangat jelas bahwa kereta itu baru akan tiba di stasiun ini sekitar satu jam kemudian.

Untuk yang kedua kalinya, Kelvin terhuyung. Tangannya meraih dinding peron dan membenturkan dahinya ke permukaan keras itu. Satu jam ... padahal ia sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk sampai di stasiun ini secepat mungkin. Padahal, ia sudah susah payah menahan kantuk demi mengejar kakaknya dan Mila ....

Satu jam lalu, Kelvin masih terbaring di tempat tidur. Biasanya tidak akan terbangun sampai ada yang membunyikan alarm di dekat telinganya jika sudah tertidur. Tapi entah kenapa, malam ini Kelvin terbangun dengan sendirinya, padahal tidak ada yang mengganggu.

Ranjang di sebelahnya masih kosong. Saat melirik jam, ternyata masih jam setengah delapan malam. Ia baru tidur selama satu jam. Malam ini Kelvin tidur lebih cepat dari biasanya, mungkin itu yang menyebabkan ia terbangun, meski masih mengantuk sebenarnya.

Tapi ... kira-kira Joe ke mana, ya? Apa jangan-jangan, kakaknya itu sedang bersama Mila? Memikirkannya saja membuat Kelvin tegang. Buru-buru ia berlari ke arah pintu, dan menemukan selembar kertas di bawahnya. Ia raih kertas itu. Ia baca cermat-cermat tulisan tangan khas Johan. Dan ia pun terbelalak sejadi-jadinya. Dengan amarah yang membuncah, ia remas kuat-kuat kertas itu.

Sialan!

Kelvin tidak bisa membayangkan apa yang dilakukan kakaknya dengan gadis yang ia sukai malam-malam begini, di tempat yang begitu jauh. Ia sama sekali tidak bisa, karena hanya akan membuat hatinya semakin sakit. Pikiran-pikiran negatif bergelimpangan di benaknya. Sama sekali tidak ada ruang untuk berpikir jernih.

Terlalu sakit. Ini seakan meledak. Demi melampiaskan kekesalannya, Kelvin mengepalkan tangan, lalu memukul-mukuli dinding peron sekuat tenaga. Namun kakinya yang gemetar sudah tidak kuat lagi menahan berat tubuh. Hingga akhirnya ia pun terjatuh, dengan kedua lutut menapaki lantai. Sementara dahinya masih bersandar pada dinding itu.

Hey, kid, are you okay? Where are your parents?

Lihat selengkapnya