Pagi ini tidak secerah kemarin. Meski musim dingin, kemarin salju benar-benar tidak turun. Tetapi sekarang rerumputan sangat basah seperti habis diguyuri hujan semalaman. Tak ayal lagi, suhu sudah menukik di angka empat derajat celsius. Dinginnya begitu menusuk sampai-sampai Rena merengkuh tubuh kuat-kuat.
Seperti biasa gadis itu bangun pagi-pagi untuk berkeliling, melaksanakan kegiatan yang mendadak jadi rutinitasnya. Sampai sekarang, ia masih belum menemukan titik terang untuk menemukan misteri apa yang tersimpan di Jepang, yang sudah membuat kenangan masa kecilnya hilang.
Namun, khusus pagi ini, Rena sama sekali tidak ada mood untuk mencari tahu hal itu dulu. Ia berkeliling melihat keindahan pagi dan rela kedinginan begini demi mengusir pikiran dari kejadian semalam. Ia kira dengan berjalan-jalan di taman, semua yang membuat jengah akan teralihkan. Tetapi justru suasana yang dipenuhi oleh beberapa dedaunan berguguran, serta daun-daun menguning dan kemerahan yang masih tersisa di ranting, membuat hati Rena perih lagi. Nuansa ini terlalu romantis baginya dan justru mengingatkannya kembali pada kejadian di mana wajah Joe berjarak sangat dekat dengan wajah Mila. Hah, ia menghela napas dengan kesal.
Baru saja akan beranjak dari tempat itu, tetiba langkahnya terhenti. Di sana, di sebuah kursi panjang yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri, Joe terduduk memunggunginya. Rena membuang napas kasar. Cowok itu malah muncul di saat yang tidak tepat.
Sejujurnya Rena sangat penasaran dengan tanggapan Mila tadi malam. Tapi saat ini, ia benar-benar sedang tidak ingin membahasnya. Ia harus menenangkan pikiran dulu. Melupakan ingatan tentang Joe yang tadi malam hendak mencium Mila tidaklah mudah. Dan ia melihat pemuda itu ingin melakukannya di bibir Mila. Ia tidak pernah melihat Joe seagresif itu. Ia masih syok.
Tapi kalau tidak menghampiri Joe sekarang, ia akan mati penasaran dan semakin sulit melupakan kejadian semalam. Baiklah, Rena putuskan untuk menghampirinya saja. Apa pun tanggapan Mila yang Joe beritahukan nanti, ia harus siap.
“Oh, ini nih orang yang ninggalin adeknya,” sindir Rena ketika sudah berdiri di samping Joe. Sebenarnya hanya ada maksud candaan ketika mengatakannya, karena jika menyapa dengan manis justru mungkin akan dicurigai. Selama ini Rena tidak pernah menyapa Joe dengan sikap-sikap manis nan baik seperti menyapa teman yang lain. Kebetulan ada bahan untuk menyindir, jadi ia gunakan itu saja. “Enak ya berdua-duaan sama cewek. Adek mah bodo amat.”
“Tau dari mana lu?” Joe menengadahkan wajah, terlihat risih dengan kehadiran Rena.
“Lah, emangnya Kelvin nggak cerita? Gue tuh ketemu sama dia di stasiun. Dia nangis lho,” jawab Rena sambil mendudukkan diri di kursi panjang, sengaja memberi jarak duduknya dengan Joe.
Joe yang memandangi Rena, tertegun sejenak. Lalu mengalihkan lagi tatapan ke depan. Kelvin memang tidak cerita padanya. Semalam ketika sampai di kamar, Kelvin masih tidur. Sama pulasnya seperti saat ia meninggalkan anak itu. Dan pagi-paginya ketika ia membuka mata, anak itu sudah tidak ada di kamar. Joe pikir semalaman Kelvin tertidur pulas tanpa bangun sedikit pun. Tapi ternyata ... justru hendak menyusulnya?
“Jadi kemaren lu nembak Kak Mila ya begitu gue kasih saran pas pagi-pagi? Haha ....” Rena sebenarnya ingin menyenggol lengan Joe dengan siku. Namun, karena jarak mereka tak cukup dekat, niat itu pun diurungkan. Ia hanya masih berusaha untuk terlihat senatural mungkin dengan bergurau. “Terus, gimana?”
Yang ditanya tak segera menjawab. Joe justru merenung beberapa detik.
“Menurut lu, perlakuan gue ke Kelvin semalam berlebihan, nggak? Maksudnya, gue ninggalin dia sendirian. Sementara gue pergi ke tempat yang jauh supaya bisa kencan sama Mila tanpa diganggu dia.”
Rena menoleh perlahan dengan bingung. “Ya iyalah! Gila aja.”