Sebentar lagi Izar akan menghadapi masa-masa ujian di semester ketiga. Ia dan beberapa mahasiswa membuat kelompok kecil untuk belajar bersama. Sudah tiga hari, tiap sehabis kuliah, mereka berkumpul dulu untuk membahas apa-apa saja yang sudah dipelajari di hari itu, saling berbagi mengenai apa yang sudah mereka pahami.
Kelompok kecil ini baru membubarkan diri begitu petang tiba. Ada yang langsung pulang ke asrama—Universitas Waseda memiliki asrama, tapi Izar lebih memilih sewa penginapan karena jaraknya ke fakultas kesusastraan lebih dekat—ada yang masih mau berkeliaran di sekitaran kampus, dan ada pula yang masih betah berkutat dengan buku pelajaran demi menyelesaikan tugas dari dosen secepatnya. Izar sendiri berencana untuk mampir dulu ke perpustakaan dekat fakultasnya demi mencari beberapa referensi.
Ia melewati ruangan besar dengan beberapa kaca menyelimuti dinding hingga bagian dalam terekspos jelas. Tergoda untuk melirik. Kelas yang ramai. Dipenuhi wajah-wajah asia (non-oriental) bercampur dengan sedikit ras pirang. Tak butuh waktu lama bagi Izar untuk menyadari bahwa mereka adalah peserta pertukaran pelajar, khususnya dari program yang beberapa hari lalu menjadikannya pemandu rombongan asal Indonesia.
Mereka sedang terbahak puas. Sesuatu di depan kelas yang membuat masing-masing dari mereka memegangi perut karena sakit atas energi yang dihasilkan tawa. Izar mengarahkan netra mengikuti arah pandang dari para mahasiswa itu, lalu manik hitamnya menangkap sesosok wanita berpakaian kimono. Persis di sisi wanita itu ada stage kecil dengan kain bercorak garis-garis besar vertikal tiga warna sebagai latar belakang. Tak absen pula sebuah radio di pinggiran stage juga kain putih panjang bak gulungan perkamen, mengekspos huruf besar-besar bertuliskan ‘RAKUGO’, tersusun dari atas ke bawah.
Yang membuat Izar menghentikan langkah adalah seseorang di atas panggung itu. Duduk bersimpuh pada bantalan. Orang itu mengenakan stelan batik dilapisi mantel hitam berbulu, sementara rambut pendeknya dikuncir ke belakang. Tidak salah lagi. Itu adalah Rena.
Izar melangkah sedikit ke belakang untuk menutup dirinya di balik dinding yang tak berkaca. Gadis itu, Rena, nampaknya sedang berusaha mengikuti apa yang diperagakan wanita berpakaian kimono di sampingnya, yang berdiri di sisi stage. Dulu Izar juga pernah diminta untuk mencoba memainkan peran dalam Rakugo oleh dosen mata kuliah Telaah Drama. Baginya, melakonkan Rakugo sama saja seperti lansia yang mendongengi para cucu, karena hanya bermodalkan mimik dan menggunakan properti seadanya dalam bercerita. Properti yang seadanya itu, oleh pemain Rakugo disulap menjadi berbagai macam benda sesuai imajinasi mereka. Izar bukanlah orang yang ekspresif. Jadi ia merasa gagal dalam percobaan memainkan Rakugo kala itu.
Berbeda dengan Rena. Meski baru kenal, ia tahu gadis itu juga bukan tipe orang yang mudah berekspresi. Tetapi lihat dia sekarang. Tanpa malu bertingkah seperti orang utan yang nakal. Tidak setengah-setengah pula ketika berubah peran menjadi polisi galak yang memarahi si orang utan itu. Meski tak senatural gerakan wanita di sampingnya, Rena tetap berhasil membuat Izar terkesima. Pemuda itu mensedekapkan lengan, menggeleng-geleng sambil ikut tertawa kecil.
Ada sesuatu yang jatuh dari saku Rena ketika gadis itu membungkuk secara berlebihan seperti kera yang sedang meminta pengampunan. Sesuatu itu melayang jatuh dari stage. Wanita berpakaian kimono melihatnya, lalu dengan sigap mengambil benda itu.
Sang wanita terkejut sejenak. Ia berbicara sebentar pada Rena, dan setelahnya membentangkan sesuatu di atas kepala ke hadapan penonton. Dipamerkannya scarf yang hanya sebesar sapu tangan, tapi motifnya begitu detail dan unik karena ada percampuran dari motif batik dekoratif dengan geometris. Pada bagian tengah terukir huruf latin yang tak kalah indahnya untuk nama si pemilik—Sharena Qorita. Semua yang duduk di depan dapat melihatnya dengan jelas. Mereka terpana. Sangat kentara bahwa benda yang menjadi pusat atensi itu dibuat dengan penuh kesungguhan.
Izar tak dapat menilik dengan pasti tulisannya. Tetapi ia tahu apa yang tertera di sana. Ia sangat tahu, benar-benar tahu ... karena pernah melihatnya.
Dan ia pun tertegun.
***
Usai bermain peran, hati Rena bukan main mendadak senang. Kegundah-gulanaan yang menyerangnya pagi tadi sudah terobati. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa tampil menunjukkan bakat di depan banyak orang. Rena bukanlah pemain teater, tapi sangat senang jika kemampuannya dalam bidang seni dipamerkan. Berhubung tipe malu-malu kucing menjadi bagian dari dirinya, jadi Rena lebih suka menunggu dipanggil saja daripada bersukarela menunjuk diri sendiri.
Awalnya memang bingung dan malu setengah mati ketika wanita pemain Rakugo itu memilihnya. Hampir saja Rena tolak. Namun, kemudian sang sukma membangkitkan kepercayaan padanya hingga ia berdiri tanpa beban dan tungkai pun melangkah dengan ringan. Rena mengerahkan seluruh kemampuan agar bisa memainkan mimik sebaik si wanita berkimono. Tawa yang dihasilkan teman-teman justru semakin meningkatkan semangat. Ia senang jika berhasil menghibur mereka. Berarti lakonannya tidak garing bin krispi, 'kan?
Lamun sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Setelah ia izin sebentar ke toilet, tiba-tiba Izar muncul dari balik dinding pemisah jejeran loker. Pemuda itu tidak muncul dengan mengagetkan Rena—tentu saja—melainkan dengan cara yang lebih elegan. Apa yang diucapkan pemuda itu padanya saat itu, tak bisa membuat Rena berhenti berpikir sampai sekarang, sampai ia beranjak meninggalkan fakultas.
“Aku tadi nggak sengaja lihat kamu main Rakugo,” ujar Izar menjelaskan alasannya menghentikan langkah Rena. “Bagus, lho. Cocok kamu.”
“Ma-masa, sih? Makasih, Bang.” Rena tersenyum salah tingkah. Dipuji oleh idolanya begini membuat pipinya panas. Ia juga jadi malu memikirkan bagaimana reaksi Izar saat melihatnya tadi.
“Setelah itu, aku lihat sesuatu jatuh dari saku mantel kamu.” Suara Izar yang semula ramah dan menyenangkan, mendadak berubah serius.
“Oh, ini?” Rena mengeluarkan benda yang dimaksud. “Ini buatan ibu aku. Bagus banget, ya? Dari dulu beliau emang suka banget bikin scarf begini. Aku udah ngasih saran lho buat buka usaha aja. Dilakuin sih, tapi beliau nggak mau yang gede-gedean. Sistemnya pre-order gitu.” Rena yang biasanya tak menyukai basa-basi dengan orang selain teman akrabnya, tetiba saja hasrat menggebu datang untuk bercerita dengan panjang-lebar. Semua ini karena suasana hatinya teramat baik.
Ekspresi datar diperlihatkan Izar yang nampak acuk-tak acuh mendengarkan ocehan Rena. “Boleh lihat?” Dan gadis itu pun menyerahkan scarf miliknya.