A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #28

27 || Sayap-sayap Patah

Izar masih ingat pertama kali menginjakkan kaki di taman ini. Saat itu musim semi, di mana Sakura bermekaran dengan indah. Juga saat-saat di mana udara begitu sejuk dan menenangkan sampai-sampai indra penciuman dengan senang hati menghirupnya dalam-dalam.

Pengunjung akan ramai memadati kala musim semi tiba, menikmati rekahan bunga yang begitu menyegarkan netra. Sementara di musim dingin begini, orang-orang pasti akan lebih memilih berdiam di tempat hangat ketimbang menjelajahi dunia luar seperti taman. Dengan kata lain, saat ini, Taman Ueno sedang sepi-sepinya. Benar-benar bisa difungsikan selayaknya taman pada umumnya—tenang dan tempat merenung yang baik—jika memang ingin pergi ke sana.

Izar menjatuhkan bokongnya pada sejenis kursi besi yang berhadapan langsung dengan danau. Dirogohnya satchel bag demi mengeluarkan sesuatu, dan setelahnya seekor kupu-kupu origami menyembul dari dalam. Ia angkat kupu-kupu itu demi menelusuri tiap detil bentuk dengan amat jeli. Masih cukup bagus. Masih seperti sediakala.

Namun, ia kurang puas. Ia merasa bentuk dari kupu-kupu ini belum cukup sempurna. Jadi dirogohnya satchel bag lagi, mengambil dua lembar origami. Kala hendak melipat origami itu, gerakan tangannya terhenti. Diangkatnya wajah, menatap danau yang terbentang luas. Biasan sinar mentari membuat permukaannya berkilauan bak berlian. Dari ekor mata terlihat pula sebatang pohon di dekat kursi yang ia duduki. Dedaunan milik pohon itu telah sepenuhnya meranggas, digantikan oleh sekumpulan kristal putih yang membentuk butiran salju.

 Izar pun tersenyum. Pemandangan ini memang tak sama persis seperti yang ia lihat empat belas tahun silam. Meski begitu, semua nuansa yang ada tak jauh berbeda. Masih dengan sangat jelas teringat, karena merupakan kenangan termanis sepanjang masa kecilnya.

***

Permukaan jalan Taman Ueno sebagian besar telah tertutupi salju. Tapak-tapak kaki Mila tercetak di hamparan itu. Ia menunduk, merapatkan mantel demi melindungi tubuh dari hawa dingin. Kemudian mengedarkan pandangan lagi. Ia perhatikan semuanya dengan saksama, dengan amat teliti, demi mengetahui keberadaan Izar.

Sehabis mengirimi pesan pada pemuda itu beberapa menit yang lalu, bergegas Mila menghadap Kelvin demi mendapatkan restu agar ia bisa tenang saat pergi ke luar penginapan. Beruntungnya hari ini. Anak itu mengizinkan tanpa banyak berpikir.

Memang sebentar lagi Kelvin akan memasuki semester baru di tahun keduanya sebagai siswa SMP, jadi akan ada tes tertulis untuk menguji ingatan para siswa saat masuk di hari pertama nanti. Ini kesempatan bagus buat Mila. Meski begitu, ia berjanji untuk pergi sebentar saja. Hanya sebentar. Ia masih punya rasa tanggung jawab sebagai pengasuh Kelvin dan harus memegang teguh prinsip itu.

Demi meringkas waktu, Mila memilih naik taksi, berharap cepat sampai di Taman Ueno. Di dalam taksi cukup hangat. Namun begitu keluar dari kendaraan beroda empat itu, udara dingin segera menyerbu. Suhu hari ini cepat sekali menurun. 

Diistirahatkannya tungkai sejenak. Sekarang Mila sudah berada pada jalanan yang membelah danau. Di kanan-kiri terdapat deretan pohon yang seluruh daunnya telah meranggas. Tak jauh dari tempatnya berdiri, di depan sana, sesosok pemuda tengah menempelkan sesuatu pada batang pohon.

Manik hitam Mila berbinar.

Padahal belum lama ia mencari. Bahkan belum sampai lima belas menit menjelajahi Tama Ueno. Tetapi, sekarang seseorang yang dicari-cari itu sudah hadir di depan mata. Apakah ini yang dinamakan jodoh?  

Direngkuhnya kedua tangan seraya menyiuk napas, setelah itu membuangnya perlahan. Sang sukma memberi kekuatan untuk melangkah lebar-lebar mendekati pemuda itu.

“Izar.”

Si pemuda jangkung menoleh, mengalihkan perhatian dari kegiatan semula. Lantas netranya melebar, menandakan adanya sedikit keterkejutan di sana.

“Lho, Mil, kamu nyusul aku?”

Mila mengulum senyum. Terdengar sangat manis tiap kali Izar menggunakan kata ganti ‘aku’ di hadapannya. Juga merasa sangat spesial, karena pemuda itu tidak seperti ini pada semua orang.

“Sebenarnya sudah lama aku pengin ngobrol berdua sama kamu, Zar. Tapi selalu gagal. Selalu aja ada halangan. Sekarang, mumpung aku punya keberanian, mumpung ada kesempatan, jadi aku bertekad buat nyusul kamu ke sini. Aku harus ngungkapin semuanya.”

Ia menunduk sejenak. Hampir saja rasa ragu kembali mencuat, untungnya keberanian masih mendominasi batinnya. Ia melangkah mendekati kursi, duduk di atasnya, diikuti Izar yang juga menduduki kembali kursi itu.

“Apa kamu ... masih sayang sama aku?” Mila sama sekali tak berani menatap mata lawan bicaranya. Akibat kikuk ia mainkan tali pada ujung mantel yang kini sudah terpilin tak beraturan. 

Terdengar embusan napas kasar dari rongga hidung milik Izar. "Kok kamu nanya kayak gitu, Mil?” Ditatapnya lekat-lekat gadis itu meski si lawan bicara masih belum mau beradu netra. “Jelas aku masih sayang sama kamu. Baik dulu, maupun sekarang. Nggak pernah berubah.”

Mila tersenyum lirih. Perkataan itu jelas bertolak belakang dengan yang ia rasakan. Tetapi ia tetap mengangguk pura-pura mengerti. “Aku harap begitu. Soalnya aku nggak merasakan apa yang kamu ucap tadi,” gumamnya. Suasana taman yang tenang tak membantu Izar untuk dapat mendengar ucapan itu dengan jelas, karena Mila mengutarakannya dengan volume yang sangat kecil. Tak sempat Izar meminta untuk mengatakannya sekali lagi, Mila sudah membuka mulut kembali dan tiba-tiba saja topik pembicaraan berganti. “Oh ya, kamu ke sini karena ada urusan atau iseng-iseng aja?”

Izar terhenyak sesaat. Menggaruk-garuk kepala, bingung atas pergantian topik yang secepat ini. “Aku ... ke sini karena ada janji. Sama Rena.”

“... Rena?” Mendadak sekujur tubuh Mila menegang. Ia mengetahui dua orang bernama Rena yang berhubungan dengan Izar. Satu Rena yang baru saja dikenalnya di Jepang, dan satunya lagi Rena yang sering Izar ceritakan sewaktu mereka masih SMA.

“Rena yang satu penginapan sama kita. Yang ngaku-ngakunya sih ngefans sama novel-novel aku,” jelas Izar, seolah mengetahui pertanyaan dalam benak Mila. Ia terkekeh begitu mengucapkan kalimat terakhir tadi.

Pengakuan Izar membuat Mila mengembuskan napas lega. Ternyata Rena yang itu.

“Sekaligus Rena yang dulu sering aku ceritakan ke kamu.”

Lihat selengkapnya