Teramat antusias Rena menyambut gelas kertas yang dijulurkan Kelvin. Berisi cokelat panas, ia genggam permukaan gelas yang hangat. Indra peraba yang semula membeku kini berangsur-angsur pulih. Kehangatan itu pun merambati rongga hidung. Asapnya mengepul nikmat di dalam sana, membawa serta aroma cokelat yang lezat.
"Makasih lho, Vin, atas traktirannya. Ya ... walaupun cuma minuman sih. Murah lagi,” goda Rena sambil sedikit menyeruput cokelat panasnya.
“Siapa suruh kemarin enggak datang.”
“Ya ... mau gimana lagi, Vin ....” Rena kehabisan kata-kata. Jadi ia pura-pura sibuk memerhatikan petugas yang sedang menyingkirkan tumpukan salju dari jalan setapak.
“Makasih juga, Kak.”
Pandangan Rena beralih. Ketika bertemu tatap dengan si bocah berponi, desiran pada aliran darahnya cukup terasa. Anak itu menatapnya dengan begitu tulus. Begitu meneduhkan, tidak seperti biasanya yang selalu memberikan sorot tajam. Rena yang kikuk, tergagap membuka mulut. “M-makasih ... buat?”
Bukannya menjawab, Kelvin malah menempelkan punggung di sandaran kursi sambil berkata, “Pikir aja sendiri,” lengkap dengan seringai sok misterius.
“Oh, jadi gitu, ya. Habis bilang makasih, terus balik lagi jadi Kelvin si bocah nyebelin.” Rena memitas hidung Kelvin dengan gemas, membuat anak itu mengaduh kesakitan. “Omong-omong, gimana kemarin? Lancar, nggak? Seru, nggak?”
Gelengan memberi jawaban atas pertanyaan itu. Sambil memijat-mijat hidungnya yang masih terasa nyeri, Kelvin berujar, “Awalnya sih enggak seru. Kacau malah. Tapi ...,” Memorinya kembali memutar kejadian itu. Kejadian yang selalu membuatnya terbawa suasana. Kejadian yang selalu membuatnya melankolis ketika mengingatnya. “Pernah nyangka nggak, Kak Joe ngasih aku kejutan? Aku sendiri gak nyangka banget. Sumpah. Dan gak tanggung-tanggung, dia sewa orang buat masang kembang api super keren dan besar kayak di festival musim panas.”