A Straight Rain: A Story about Their Gathering in Tokyo

Anis Maryani
Chapter #35

34 || Hari Terakhir

Tepukan tangan riuh terdengar begitu Andra dan Sasa turun dari podium. Mereka mewakili peserta dari Indonesia untuk mempresentasikan hal-hal apa saja yang didapat selama menjadi mahasiswa pertukaran pelajar. Karena berada di urutan terakhir dan berhubung dipresentasikan dengan sangat baik, apresiasi terhadap mereka pun begitu meriah.

Sang moderator mengumumkan bahwa inilah saatnya untuk berpesta. Bagai wisudawan yang telah diluluskan secara resmi, beberapa di antara orang-orang yang berada di dalam ruangan itu melemparkan topi tinggi-tinggi. Topi-topi itu merupakan sejenis topi bisbol yang dibagikan sebagai kenang-kenangan sebelum acara terakhir ini dimulai. Pada bagian muka dari topi itu tercetak logo Universitas Waseda serta nama dari program pertukaran pelajar ini dalam huruf Jepang.

Rombongan dari Indonesia mendekati koordinator mereka, Nishida. Sebuah cendera mata terjulur dari lengan Andra teruntuk wanita cantik ini. Cendera mata berupa satu set wayang kecil lengkap dengan panggungnya. Sebelum keberangkatan ke Jepang, Andra dan kawan-kawan memang telah sepakat membeli sesuatu yang sangat khas akan sentuhan Indonesia sebagai kenang-kenangan untuk koordinator mereka. Dan pilihan itu jatuh kepada wayang, yang kebetulan Rena dapatkan replikanya dari salah satu situs belanja daring.

Tak dapat terelakkan lagi raut senang yang tergambar jelas di wajah Nishida. Selama ini, belum pernah ada peserta dari negara lain memberikan karya etnik khas negeri mereka. Selagi dijelaskan oleh Andra mengenai arti, fungsi, dan segala seluk-beluk lainnya mengenai wayang, Nishida terus mengagumi benda yang tergenggam di tangannya, yang sedang menjadi objek pembicaraan. Baik Nishida maupun para peserta dari rombongan ini saling mengucapkan banyak terima kasih.

Usai pemberian cendera mata disertai ungkapan haru di antara mereka, Ninda melipir ke dekat Rena yang berada pada baris terluar dari kerumunan itu. Ia berbisik, berucap persis di sebelah telinga Rena. “Eh, Kak Izar ke mana? Yang dari negara lain aja kayaknya pada dateng,” desisnya, lantas melirik para mahasiswa yang mengenakan jaket khusus, menandakan bahwa mereka adalah perwakilan mahasiswa Waseda di mana negaranya menjadi peserta program pertukaran pelajar ini.

"Enggak tau deh,” jawab Rena sekenanya.

“Yah, kok lu enggak tau, sih. Kan, lu deket sama doi.” Ninda menaik-turunkan alis dengan jail.

Olokan itu disahuti Rena secara ketus karena jengkel. Matanya menyipit. “Dikira gue emaknya sampai harus tau semua kegiatan dia."

Mereka tak melanjutkan obrolan karena setelah itu Ninda ditarik Cila, minta ditemani mencomot makanan di jajaran prasmanan dekat jendela. Rupanya alasan itu hanya sebagai kamuflase. Karena sesampainya di sana, Cila justru mengajak Ninda berkenalan dan berfoto dengan pemuda asal Rusia. Rena mengulum senyum sambil menggeleng-geleng.

Lalu ia mengedarkan padangan. Satu per satu ia perhatikan orang-orang yang mengobrol sambil memegangi piring plastik di tangan mereka. Benar, Izar tidak ada. Ke mana ya, pemuda itu?

***

Rena memandangi pintu kamar, lantas membuang napas dengan berat. Tak terasa sudah tujuh belas hari ia menempati kamar ini. Sekarang sudah waktunya ia pulang. Ditolehnya muke ke sisi kanan, lalu ke sisi kiri secara bergantian. Tak ada siapa-siapa. Tak ada Izar, Johan, Kelvin ... ataupun Mila. Ia belum sempat berpamitan pada mereka. Agak berat rasanya pergi tanpa memberikan salam perpisahan pada orang-orang yang menorehkan kenangan selama berada di negeri ini.

Setelah berpikir cukup lama, ditariklah koper besar miliknya kemudian melangkah lebar-lebar.

***

Mobil khusus pengangkut koper dam barang bawaan berat lainnya berangkat lebih dulu ke Stasiun Tokyo. Nishida turut serta. Sang koordinator membiarkan para mahasiswa asal Indonesia menikmati kota metropolis ini untuk yang terakhir kali, asalkan pada pukul dua belas siang nanti harus sudah berkumpul di Stasiun Tokyo. Tak berapa lama setelah Nishida pergi, teman-teman Rena satu per satu berpamitan padanya karena mereka sudah punya rencana lain.

“Lagi nunggu siapa, Ren?”

Sontak Rena menoleh. Didapatinya sosok Joe dengan syal dan jaket hitam, serta lengkap dengan gaya rambut yang masih sama—agak berantakan, poni menutupi dahi yang juga tak beraturan.

Rena kembali menatap ke arah depan, mendengus. “Tumben. Biasanya kalau ketemu gue, lu nanya gini, ‘Lu ngapain di sini, Ren?’” Ia memeragakan cara Johan mengucapkan pertanyaan itu.

“Ah, masa sih tiap ketemu elu gue nanya kayak gitu. Merhatiin aja, lu.” Joe terkekeh. “Jadi, lu lagi nunggu siapa?”

“Lagi nunggu temen, nih.”

Joe mengangguk-angguk. Kemudian melirik ransel di punggung Rena. “Lu juga tumben bawa ransel. Lumayan gede, lagi. Kemaren-kemaren kayaknya cuma pakai tas selempang.” Ia mengusap-usap dagu coba menelaah situasi.

“Ini hari terakhir gue di Jepang. Jadi gue mau jalan-jalan sambil beli oleh-oleh. Karena nenteng belanjaan itu ribet, gue siapin aja deh ransel ini khusus buat oleh-oleh.”

Joe terdiam menatap ransel itu. “Jadi ....”

Lihat selengkapnya