Semalam, Rena menghabiskan saat-saat terakhir di penginapan dengan berbincang bersama kedua orangtuanya melalui panggilan video. Tak lupa ia sampaikan hal terpenting —bahwa ia sudah mengingat kejadian masa lalu itu. Ia ingat bagaimana nyawa kakaknya terenggut. Ingatan yang sangat dikhawatirkan oleh kedua orangtuanya.
Maka dari itu, Rena tidak menceritakan seberapa sakit kepalanya saat semua memori buruk bermunculan dalam benak. Ditenangkannya mereka dengan seulas senyum hangat, serta mimik yang menyatakan bahwa ia baik-baik saja. Sebelum video call terputus, tak lupa Rena tanyakan di mana letak pemakaman sang kakak. Karena sejauh yang diingat, ia sama sekali belum pernah berziarah ke sana.
Ninda dan Sasa tentu dipenuhi dengan tanda tanya ketika diminta Rena untuk menemaninya pergi ke pemakaman. Namun, tak ada yang banyak berkomentar ketika sejumlah alasan yang begitu singkat diungkapkan. Mereka tak tega jika bertanya terlalu banyak karena mungkin akan membuat gadis itu sedih.
Pemakaman yang dimaksud berada di Distrik Asakusa. Tak jauh dari Taman Ueno. Seperti biasa dan seperti masyarakat Jepang pada umumnya, perjalanan menuju tempat itu ditempuh menggunakan kereta, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki. Jarak antara stasiun ke pemakaman tidak begitu jauh. Akan tetapi, karena Rena sama sekali belum tahu tempat ini, jadi mereka memakan waktu cukup lama, bahkan hampir dua jam. Untungnya usaha pencarian ini membuahkan hasil. Makam sang kakak ditemukan tepat sebelum Rena beserta kedua temannya lelah dan menyerah.
Selepas dari sana mereka melanjutkan perjalanan menuju Stasiun Tokyo. Embusan napas lega terdengar karena ternyata bisa sampai tepat waktu.
Seteleh semua peserta sudah berkumpul, Nishida mengumumkan bahwa rombongan asal Indonesia ini akan menaiki shinkansen[10] menuju Osaka. Tentu ia pun masih menemani sampai di sana, sampai pukul delapan malam nanti, ketika mereka sudah harus boarding pass di Bandar Udara Internasional Osaka.
Lagi-lagi Nishida membebaskan keinginan mereka sesampainya di lokasi tujuan. Ia biarkan para peserta menikmati keindahan kota itu sepuas hati. Sementara ia sendiri segera berangkat bersama sekumpulam koper ke bandara terakhir.
Rena sampai menggeleng-geleng dengan pelayanan sang koordinator yang luar biasa sigap. Kemudian ia, Ninda, dan Sasa kembali pergi bersama karena kebetulan mereka ingin berkunjung ke satu tempat yang sama.
Dari Stasiun Shin-Osaka, Rena dan kedua temannya naik kereta selama kurang lebih sembilan belas menit menuju Stasiun Nanba. Tidak ada kata tidak sepakat untuk menyambangi wilayah paling ikonik di sana—Dotonbori Street. Dari atas perahu wisata, terjelajahilah Sungai Dotonbori yang membelah area pusat perbelanjaan itu menjadi dua bagian. Jejeran pertokoan dihiasi papan reklame besar-besar di kanan-kiri, lengkap dengan simbol serta logo dari masing-masing toko. Pemandangan ini seolah memberikan ucapan selamat datang pada para turis yang sedang menaiki perahu.
Pemandu wisata menjelaskan beberapa toko, logo, dan simbol yang mereka lewati dengan Bahasa Inggris juga terkadang diselingi Bahasa Jepang. Rena mendengarkannya sambil lalu. Ia sibuk berdokumentasi ria sekaligus mengagumi pemandangan sekitaran Sungai Dotonbori.
***
"Aduh ... enak banget nih baunya. Bikin gue laper aja.” Ninda memejamkan mata sambil menghirup aroma sedap dari masakan yang tengah dibakar. Mereka baru saja turun dari perahu, telah selesai menjelajahi Sungai Dotonbori. “Ke sana, yuk.” Tanpa menunggu reaksi dari Rena dan Sasa, Ninda menarik lengan keduanya.
“Sono guriru-ika, nihiki kudasai." [Tolong cumi bakarnya dua, ya.] Sasa yang memesan. Namun, masih harus bersabar karena antreannya cukup panjang. Kemudian ia menoleh, menatap Rena yang menunggu di sampingnya. “Lu beneran nggak mau?”
Rena menggeleng seraya berkata, “Gue lagi males nyemal-nyemil. Pengennya tuh keliling-keliling aja.” Ia terkekeh, lalu tiba-tiba terpikir sesuatu. "Gue boleh liat-liat toko yang lain, nggak? Kalian, 'kan, kayaknya masih lama nih.”
Setelah mendapatkan izin dari kedua temannya, Rena berkeliling mengitari area sekitaran Sungai Dotonbori. Ia mendongak dan terkagum. Berhenti sebentar untuk mendapatkan angle yang pas untuk didokumentasikan. Ini hari terakhir jadi ia merasa harus mengambil foto banyak-banyak. Sekarang tidak peduli lagi dengan memori poselnya yang hampir penuh. Ponsel miliknya sampai didominasi oleh foto-foto pertokoan dengan ornamen khas serta ramainya suasana sekitar. Bahkan potret dirinya yang berlatar-belakangkan keramaian di sana hanya ada satu sampai dua foto.
Meski sudah berjalan cukup jauh, rasanya tak akan pernah lelah menjelajahi tempat ini. Tetapi ia harus menjemput Ninda dan Sasa. Jika ia berkelana terlalu jauh sampai lupa jalan kembali ke toko tadi, bisa dipastikan mereka akan menghabiskan banyak waktu untuk mencari satu sama lain dan berimbas pada terlambatnya mereka melakukan boarding pass di bandara.
Rena baru saja selesai memikirkan itu saat toko yang menjual cumi bakar tertangkap jelas oleh mata minusnya. Ia mendekati antrean dan memperhatikan mereka satu per satu tanpa mencolok. Kedua temannya ... tidak ada.
Cepat-cepat ia pakai kacamata minus. Sekali lagi mengamati antrean itu. Benar, tidak ada. Ia pun kembali meninggalkan tempat itu, berlari di antara kerumunan orang yang berlalu-lalang. Ia tidak bisa meneriaki nama Ninda dan Sasa di tempat seramai ini. Selain karena malu, mungkin juga tidak akan terdengar.
Tadi siang tenaga Rena sudah cukup terkuras karena mencari makam kakaknya. Dan barusan ia berjalan mengitari pertokoan sekitar tanpa menyadari kakinya yang sudah mulai kesakitan. Lalu sekarang, ia terpaksa berkeliling lagi, kali ini sambil berlari. Nyeri di betisnya benar-benar terasa sekarang. Jadi ia berhenti sejenak. Berkacak pinggang. Napasnya terembusa satu-satu karena lelah. Sementara pandangannya mengedar. Lalu bertumpu pada tatapan seseorang yang baru saja keluar dari salah satu ruko.
Izar.
Pemuda itu berkedip sekali. Begitu juga dengan Rena. Pemuda itu menaikkan sudut bibirnya. Tetapi Rena tidak. Ia menghampiri Izar dengan langkah perlahan dan dengan tatapan yang tidak fokus, cepat-cepat melepaskan kacamata dari wajahnya. Sebaliknya, pemuda itu justru menghampirinya dengan senyum cerah nan ramah khas seorang Izar.