Selama berada di Tokyo, Mila baru mengunjungi tiga dari sekian banyak taman: Taman Toyamahigashi, Taman Okuma di Universitas Waseda, dan Taman Ueno. Taman yang ia datangi saat ini berarti berada di daftar keempat. Taman Atletik Toyama namanya. Menghabiskan waktu sekitar lima belas menit jika berjalan dari penginapan. Kakak-beradik Johan dan Kelvin yang mengajaknya ke sini. Tetapi baru saja dua orang itu pamit ke toilet. Kekompakan yang jarang terjadi di antara mereka. Jadi sekarang, Mila hanya duduk-duduk sambil termenung.
Tak jauh dari tempat di mana Mila berada, sebuah Pohon Ek berdiri kokoh. Ia menatap pohon itu lamat-lamat tanpa berkedip. Batangnya yang besar dan kuat. Ranting-rantingnya yang dihiasi gumpalan bunga salju. Pohon sejenis ini ... adalah pohon yang dulu mempertemukannya dengan Izar. Hanya saja dedaunannya tumbuh lebat dan hijau segar, serta bukan berada di tanah asia timur ini tentunya.
Dulu, setiap kali ia sedih, ia duduk di bawah pohon itu. Kebetulan letaknya di tepi danau. Jadi sangat cocok untuk merenung dan menenangkan pikiran. Ia juga bertemu dengan Izar ketika sedang menyendiri di bawah pohon itu. Mereka sama-sama menyukai ketenangan. Izar mencari ketenangan untuk mendapatkan inspirasi, sementara Mila mencari ketenangan untuk meredam sakit hatinya terhadap siswi-siswi di sekolah.
Dulu, Mila merupakan anak yang cukup populer di sekolah. Hanya saja kepopulerannya ini berputar di kalangan siswa. Paras ayunya begitu disenangi, kecantikan hatinya begitu dikagumi ... tapi kepribadiannya yang sulit bergaul acap kali menghunuskan dugaan sombong pada dirinya. Para siswi menjauhinya. Banyak di antara mereka yang justru lebih mengarah pada rasa iri. Sedangkan para siswa ... mereka hanya memberikan perhatian semu. Mereka lebih sering membuat Mila merasa tak nyaman. Mereka membuat Mila semakin membenci hari-harinya yang memang tak pernah ada rasa senang terpaut di sana.
Lalu kehadiran Izar mengubah hari-harinya yang buruk. Kehadiran Izar seperti cat air yang melapisi sketsa hitam putih. Sejak ada pemuda itu, ia lebih banyak tersenyum. Sejak ada pemuda itu, ia jauh lebih semangat dalam menjalani kehidupan sekolah. Setiap pulang dari sekolah pun ia jadi semakin bersemangat melangkahkan kaki ke taman itu, yang terdapat pohon ek di tepi danaunya.
Mila menyukai kepribadian Izar. Ia menyukai semua hal yang ada di diri Izar.
Amat disayangkan pemuda itu tak memiliki perasaan yang sama dengannya.
Mila selalu menelan pahit dalam-dalam tiap Izar menceritakan tentang gadis kecilnya. Tiap kali pemuda itu bercerita tentang si gadis kecil, wajahnya selalu beseri-seri. Tetapi Mila tidak peduli. Ia menanggapi sekenanya dan tetap berusaha terlihat sebagai gadis yang paling baik di mata Izar. Lagipula, dia yang selalu berada di sisi Izar, bukan gadis kecil itu.
Namun, rupanya Tuhan berkata lain. Dua tahun setelah pertemuan mereka, Mila harus merelakan pemuda itu jauh darinya. Izar mendapatkan universitas favorit di luar kota. Mereka masih saling berkirim pesan hingga beberapa waktu kemudian. Semakin lama semakin jarang berhubungan karena Izar semakin sibuk. Mila tidak mau mengganggu dan tidak mau dianggap posesif. Apalagi mereka bukan sepasang kekasih, jadi ia biarkan saja seperti ini, membiarkan rindu dalam dadanya semakin menggerogoti.
Agar tidak terus-menerus memikirkan Izar, Mila mencari kesibukan selain sekolah dan tambahan bimbingan belajar—saat itu ia sudah berada di semester akhir. Kebetulan lowongan pekerjaan yang ia temukan adalah menjadi asisten seorang anak. Dari situlah kehidupannya bersama Johan dan Kelvin dimulai.
Jika mengenang masa lalu, Mila jadi teringat dengan Rena. Ia sudah banyak berkata bohong. Mengenai hubungannya dengan Izar, juga berbohong mengenai kehidupan sekolah mereka. Mila tidak mengerti kenapa rasanya saat itu ia ingin sekali memutarbalikkan fakta. Rasa cinta dan rindu yang tak pernah padam serta teramat besar ini benar-benar mengubah kepribadiannya. Benar-benar membuatnya gila.
Tangan Mila terangkat. Menutupi wajahnya yang tertunduk. Ia menyesal. Sangat menyesal. Ia telah mengkhianati orang yang sudah ia anggap sebagai sahabat dan itu lebih menyakitkan dari apa pun.
***
“Sudah saatnya kita muncul, Vin.” Joe menjulurkan kepalanya dari balik semak-semak.
Kelvin tak segera bereaksi. Ia menimbang-nimbang. Di kedua tangannya tergenggam kostum hewan kutub: penguin. Di tangan Joe juga. Hanya saja kakaknya itu lebih memilih kostum beruang karena menurutnya kebanyakan wanita lebih menyukai beruang.
“Kakak yakin kita pakai kostum konyol ini?”