A Tale of Two Cities

Mizan Publishing
Chapter #3

Hidup Kembali : Kereta Surat

Tokoh pertama kisah ini sedang berada di jalanan menuju Dover, pada suatu Jumat malam akhir November. Bersama tokoh kita, sebuah kereta pengangkut surat jurusan Dover turut melaju di jalanan itu, menanjak perlahan ke puncak Shooter’s Hill. Sang lelaki melangkah menaiki bukit di tanah berlumpur di sisi kereta surat, seperti halnya para penumpang lain kereta itu. alih-alih ingin menggerakkan badan, mereka berjalan kaki lantaran bukit, pakaian kuda, lumpur jalanan, dan beban angkutan, semuanya amat memberatkan perjalanan. Sudah tiga kali kudakuda berhenti dan satu kali, mereka menyeret kereta berputar arah, hendak kembali ke persinggahan sebelumnya di Blackheath. Sang kusir dan sang pengawal kereta tahu bahwa kuda sebaiknya tidak dibiarkan bertingkah sekehendak hati, meskipun konon kuda memiliki akal. Maka, dengan bantuan tali kekang dan pecut, kudakuda itu pasrah dan kembali menjalankan tugas.

Dengan kepala merunduk dan ekor bergetar, kudakuda menjejak tanah berlumpur tebal sambil sesekali terhuyung dan tersandung, seolah-olah sendisendi mereka akan terlepas. Setiap kali sang kusir menghentikan laju mereka dengan abaaba waspada, kuda terdepan menggelengkan kepala dan seluruh atributnya keraskeras—seakanakan ingin berkata bahwa kereta takkan bisa sampai di puncak bukit. Setiap kali si kuda berguncang, sang penumpang, yang juga tokoh kita, terperanjat kaget saking gugupnya dan merasa risau.

Kabut mengambang di lembahlembah, lalu membubung lesu ke puncak bukit, bagai arwah penasaran yang tak kunjung menemukan istirahat. Kabut lembap yang sangat dingin itu perlahan mengudara dalam riak yang susulmenyusul, seperti ombak di lautan yang resah. Betapa tebalnya kabut itu, sehingga tiada yang tampak selain cahaya lampu kereta dan beberapa meter jalanan di depan sana. Tubuh kudakuda yang bekerja keras melesapkan uap ke udara, seolah-olah kabut itu berasal dari mereka.

Dua penumpang lain, bersama tokoh kita, melangkah tertatihtatih di samping kereta pengangkut surat. Ketiganya terbalut baju hangat hingga pipi dan telinga, dan memakai sepatu bot tinggi. Mereka tidak dapat menerka seperti apa rupa penumpang lainnya. Setiap orang bersikap sangat tertutup, tidak mungkin ditebak oleh pikiran maupun penglihatan. Pada zaman itu, pelancong biasanya enggan beramahtamah, sebab siapa pun yang ditemui dalam perjalanan boleh jadi ialah perampok atau berkomplot dengan kawanan perampok. Mereka yang berkomplot dengan perampok lebih sering ditemukan, sebab mereka ada di setiap pos persinggahan dan kedai minum, mulai dari pemilik tempat hingga pesuruh yang bekerja serabutan. Itulah yang dipikirkan oleh sang pengawal kereta surat, pada Jumat malam akhir November 1775, saat kereta menanjak ke puncak Shooter’s Hill. Sang pengawal bertengger di belakang kereta, menjejakjejakkan kaki, dan menjaga sebuah peti senjata di hadapannya. Peti senjata itu berisi senapan pemuras penuh peluru, enam hingga delapan pistol yang juga penuh peluru, dan sederet pedang pendek di dasarnya.

Suasana di kereta surat jurusan Dover begitu hangat seperti biasanya: sang pengawal curiga kepada para penumpang, para penumpang curiga kepada satu sama lain, juga kepada sang pengawal. Mereka semua saling curiga dan sang kusir hanya percaya pada kudakudanya, walaupun dia berani bersumpah di atas Alkitab bahwa kudakudanya tidak akan sanggup menempuh perjalanan ini.

“Wooo!” seru sang kusir. “Ayo! Satu tarikan lagi, kalian akan sampai di puncak. Ah, sial, aku harus matimatian membawa kalian ke sana!—Joe!”

“Ya?” jawab sang pengawal.

“Kirakira, jam berapa sekarang, Joe?”

“Jam sebelas lewat sepuluh menit.”

“Astaga!” seru sang kusir, jengkel. “Kita belum sampai di puncak! Ck! Hus! Ayo maju!”

Begitu merasakan lecutan keras sang kusir, kuda terdepan mengerahkan segenap tenaganya, ketiga kuda lainnya turut melaju. Sekali lagi, kereta surat jurusan Dover terhuyung maju, sementara sepatu bot para penumpang melangkah di sisinya. Para penumpang berhenti melangkah setiap kali kereta berhenti, dan selalu berada dekat-dekat. Seandainya salah seorang penumpang berani mengajak yang lainnya berjalan lebih dulu menembus kabut dan kegelapan malam, dia akan langsung ditembak karena dianggap sebagai perampok jalanan.

Tarikan terakhir mengantarkan kereta ke puncak bukit. Kudakuda berhenti untuk menghela napas. Sang pengawal memasangi roda kereta dengan rantai agar tidak tergelincir saat menuruni bukit, lalu dia membuka pintu kereta supaya penumpang dapat naik.

“Husss! Joe!” seru sang kusir, memperingatkan dari atas kursinya.

“Ada apa, Tom?”

Mereka berdua menyimak.

“Kurasa ada kuda berlari ke arah sini, Joe.”

“Menurutku, itu kuda yang berlari kencang, Tom,” balas sang pengawal. Dia melepaskan tangan dari pintu dan naik ke tempatnya di belakang kereta. “TuanTuan! Demi nama Raja, cepat masuk!”

Sambil tergesagesa mengucapkan perintah, dia mengokang senapan pemurasnya dan bersiap menembak.

Sang penumpang, tokoh cerita ini, tengah berada di undakan kereta, hendak naik. Dua penumpang lainnya berdiri di belakangnya, juga hendak naik. Sang penumpang terpaku di undakan itu, tubuhnya sudah separuh masuk ke kereta, sedangkan dua penumpang lainnya masih menjejak tanah. Mereka bertiga bergantian memandangi sang kusir dan sang pengawal, lalu menyimak. Sang kusir menoleh ke belakang, sang pengawal menoleh ke belakang, bahkan si kuda terdepan pun menegakkan telinganya dan ikut menoleh ke belakang.

Malam terasa sangat sunyi, semakin sunyi setelah kereta diam dan berhenti berkeretak. Desah napas kudakuda membuat kereta bergidik gelisah. Jantung para penumpang berdegup sangat kencang. Kesunyian malam melukiskan perasaan mereka yang kelelahan, waspada, dan cemas menantikan datangnya sesuatu.

Lihat selengkapnya