Seminggu berlalu dan tak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada sebagian penduduk Kerajaan Valegard.
Tanpa perlu mencari tahu pun, Freyja Hildegard tak luput dari kabar yang menggemparkan seantero wilayah kerajaan. Pasalnya, waktu istirahat usai latihan kemarin yang lazimnya tentram menjelma menjadi kericuhan saat informasi tersebut sampai ke telinga sesama ksatria kerajaan yang untuk sementara menumpang tinggal di rumahnya dalam rangka kegiatan tanding mingguan.
Tahu-tahu, begitu santap siang selesai, satu ruangan dipenuhi oleh ocehan. Baik sisi kanan maupun sisi kirinya kompak membicarakan hal yang sama. Alih-alih ikut bergabung dalam lingkaran diskusi yang aktif bertukar opini, Freyja menjauhi kerumunan untuk menghampiri rekan-rekannya yang terhimpun dalam orde ksatria yang diciptakan eksklusif oleh raja. Kursi panjang dekat tangga lantai satu adalah lokasi pilihan mereka untuk berkumpul dan berbincang sembari sedikit mencuri dengar obrolan sekitar.
Semakin lama mendengarkan, semakin ia mengerti mengapa persoalan tersebut menjadi topik pembicaraan utama hari ini, juga menjelaskan mengapa sedari awal yang ditangkap oleh indra pendengarannya hanyalah nada kegelisahan dan kerisauan.
Freyja mafhum. Bagaimana mungkin situasi tetap tenang seolah tak terjadi apa-apa kalau yang diberitakan adalah kematian beruntun yang terjadi di dua kota dalam waktu bersamaan? Terlebih, desas-desus menyebutkan bahwa dugaan penyebabnya jauh lebih mengerikan bila dibandingkan dengan penyakit umum, kasus kriminal, atau kelaparan yang kerap kali melanda pada abad itu.
Kutukan.
Mengutip perkataan Rosamund selaku ladang informasi yang paling diandalkan di antara enam anggota orde, Freyja memperteguh keyakinan bahwa wabah ini berakar dari sesuatu yang mistis.
“Gejalanya cukup aneh, terdapat bercak-bercak hitam di tubuh korban. Aku khawatir penyakit ini dapat menyebar dengan cepat. Beruntung Kota Blostun dan Kota Leortan jauh dari ibu kota sehingga ada cukup waktu untuk mengamankan wilayah.”
Begitulah yang dituturkan sobat bersurai coklatnya tempo hari kala pembicaraan mereka berlangsung. Sementara, hari ini belum ada laporan terbaru mengenai kenaikan jumlah korban yang meregang nyawa. Selagi raja belum memberi titah apapun padanya, Freyja memutuskan untuk menikmati waktu luangnya dengan mengistirahatkan diri di pohon ek semenjak setengah jam yang lalu, tempat favoritnya di mana semilir angin berhembus melewati helaian rambut merah bergelombangnya yang terikat rapi, menjulur melewati bahu kanannya.
“Freyja!”
Dari arah selatan tempat rumahnya berdiri kokoh, dua orang berbaju zirah lengkap datang dengan menunggangi kuda masing-masing, diikuti oleh kuda hitam tanpa penunggang di belakang. Penampilan mereka semakin paripurna dengan adanya kehadiran pedang yang tersampir di pinggang. Keduanya berangsur-angsur turun dari tunggangan mereka, menghampiri Freyja yang duduk bersandar di bawah pohon.
“Skylight!“ sapa Freyja begitu menyadari kehadiran sosok kuda kesayangannya, “Sudah waktunya, ya?”