Ketika Armia terbangun pukul lima pagi lalu bergegas keluar dari kamar dan hendak menuju kamar mandi, langkahnya langsung terhenti ketika melihat neneknya sudah berpakaian rapi di dekat pintu rumah yang terbuka lebar. Neneknya tampak sudah siap pergi, beliau memakai jaket tebal dan selendang yang disampirkan di pundaknya, paket peralatan lengkap untuk melindungi tubuh dari hawa dingin.
Selintas rasa sedih menyembilu langsung menyesak cepat, berlalu sembari menggoreskan rasa bersalah di hatinya. Neneknya sudah tua, menginjak usia enam puluh tahun, tetapi sang nenek masih harus bekerja untuk menghidupi mereka berdua demi sekadar cukup untuk makan dan kebutuhan sehari-hari.
"Nenek sudah mau berangkat sekarang?" Armia mengerutkan kening, melirik langit di luar sana yang belumlah menyemburatkan sinar fajar. Matanya menyiratkan tanya, karena tidak biasanya sang nenek berangkat sepagi ini.
Jumi, sang nenek, mengulas senyum ketika melihat Armia muncul di ruang tamu, masih mengenakan daster batik yang dipakainya tidur, lengkap dengan rambut acak-acakan karena baru bangun tidur. Di usianya yang ketujuh belas tahun, cucu kecilnya telah beranjak dewasa dan semakin cantik meskipun Armia sepertinya tak menyadarinya. Sekilas pandang, anak itu semakin mirip dengan ibunya yang telah tiada, mengalirkan setetes haru di benak Nenek Jumi.
"Ada pesanan nasi kuning dan kue basah untuk posyandu bulanan di kelurahan, Nenek dan Bi Nunung harus menyiapkan semuanya sebelum pesanan diambil jam sembilan nanti." Nenek Jumi mengedikkan dagunya ke arah nakas yang terletak di samping kipas angin ruang tamu. "Uang sakumu ada di atas nakas. Hari ini ada olah raga, kan? Nenek tambahkan uang untuk beli nasi setelah jam istirahat."
"Terima kasih, Nek. Nanti sepulang sekolah, Armia akan langsung ke warung buat bantu-bantu," sahut Armia sambil menghampiri neneknya, lalu mengambil tangan sang nenek untuk mencium tangannya.
Sikap sopan Armia yang tulus itu benar-benar menghangatkan hati. Anak ini tumbuh besar dalam kesederhanaan dan bekekurangan, tetapi syukurlah Armia tumbuh menjadi anak yang baik, pintar dan tak pernah sekalipun membantah atau merepotkan.
Nenek Jumi kemudian mengusap rambut Armia dengan sayang sebelum berucap,
"Tidak usah memaksakan diri, Nduk. Kamu pasti capek habis pulang sekolah, mending kamu langsung ke rumah saja, kerjakan PRmu."