Pintu gerbang SMA Bakti Luhur, yang berdiri megah di hadapannya masihlah terbuka lebar, membuat kelegaan langsung memenuhi jiwa Armia.
Waktu menunjukkan pukul tujuh kurang lima menit, yang berarti lima menit lagi pintu gerbang ini akan terkunci rapat dan tak akan bisa dibuka kecuali atas izin kepala sekolah. Jika Armia sampai terlambat, maka dia harus menghadap kepala sekolah, menerima surat peringatan pelanggaran kedisiplinan tertulis dan juga membuat neneknya harus datang ke sekolah ini untuk menerima teguran secara lisan dari pihak sekolah. Armia tentu saja tidak ingin itu terjadi, neneknya sudah terlalu sibuk mencari makan untuk mereka berdua, tidak mungkin dia tega merepotkan beliau dengan segala urusan sekolah yang seharusnya bisa ditanganinya sendiri.
Armia mempercepat langkah dan bergegas melewati gerbang sekolah itu untuk mengamankan diri. Setelah beberapa langkah menjauh, dia pun memperlambat kakinya dan mencari tempat teduh untuk berhenti sejenak. Armia menghela napas panjang, berusaha menetralkan kembali napasnya yang sedikit terengah karena begitu turun dari angkutan umum tadi, dia langsung berlari cepat untuk mengejar waktu supaya tidak terlambat. Beruntung saat ini situasi di area sekitar gerbang sekolah sudah sepi, pastilah karena murid-murid sudah masuk ke dalam kelasnya masing-masing dan duduk tenang di bangku mereka sembari menunggu jam belajar dimulai. Kalau tidak, para murid itu mungkin akan saling berbisik-bisik dan mengatai dengan suara rendah ketika melihat dirinya, seorang murid beasiswa, hampir terlambat datang dan memasuki gerbang sekolah dengan tampang acak-acakan dan basah kuyup oleh keringat.
Armia tahu bahwa penampilannya saat ini pastilah sangat berantakan, rambutnya beriap-riap lengket di dahinya dan sebagian besar terlepas dari ikatannya di tengkuknya, keringat pun bercucuran. Dari semua kekacauan itu, aroma tubuhnyalah yang membuat Armia semakin khawatir.
Perlahan Armia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, setelah memastikan situasi benar-benar sepi, Armia pun mengangkat lengan dan bergegas mengendus aroma tubuhnya.
Hmmm.... masih aman. Meskipun dia berkeringat, tetapi aroma tubuhnya tak sampai menguar dan mengganggu indra penciuman orang lain.
Entah kenapa angkutan umum yang ditumpanginya berangkat ke sekolah pagi ini jauh lebih penuh jika dibandingkan dengan pagi-pagi lain yang biasa dilaluinya. Banyak sekali penumpang naik turun silih berganti di angkutan umum itu hingga membuat perjalanan lebih lama dan membuat Armia harus bertahan berdempet-dempetan di tempat duduk angkot. Sang supir angkot sendiri seolah tak peduli dengan kondisi penumpangnya dan lebih memilih berusaha mendapatkan pemasukan lebih banyak dengan terus menerus menjejalkan manusia-manusia ke dalam ruang kendaraannya semaksimal mungkin.
Sebagian besar dari para penumpang angkot jurusan yang dinaiki oleh Armia adalah para pedagang pasar pagi yang cukup terkenal di kota. Pasar itu terletak di pusat kota di area yang sangat luas dan menjadi pusat transaksi penjualan segala jenis ikan laut paling lengkap dan paling besar di seluruh daerah. Karena itulah, pedagang-pedagang yang naik ke angkutan umum itu kebanyakan membawa ember-ember berisi ikan yang aromanya amis tak terkira, bercampur aduk dengan aroma tubuh berkeringat dan masih ditambah lagi dengan aroma rokok dari penumpang tak tahu diri yang masih sempat-sempatnya merokok ditengah kesesakan yang menyiksa paru-paru itu.
Hal itulah yang membuat Armia benar-benar memeriksa aroma tubuhnya sebelum memasuki kelas. Bau ikan dan keringat mungkin masih bisa ditoleransi, tetapi bau rokok nan pekat akan membuat teman sebangkunya begidik jijik dan akan memandangnya dengan tatapan yang lebih merendahkan lagi dibandingkan sebelumnya.
"Kau sedang apa?"
Sebuah suara menyapa yang terdengar tiba-tiba membuat Armia begitu terkejut hingga hampir terlompat dari posisinya berdiri. Jantungnya berdegup kencang, diliputi oleh rasa malu dan ketakutan. Sungguh Armia takut jika yang memergokinya itu adalah teman sekelasnya atau orang yang mengenalnya. Dia ngeri karena terpergok bertingkah konyol yang kemungkinan besar akan membuatnya menjadi bahan tertawaan di sekolah.
Perlahan, dengan leher kaku dan wajah diterpa teror, Armia menolehkan kepala, menatap ke arah sumber suara yang terdengar dari belakangnya.