Kedatangan Maya ke Froz Kafe tentu mengundang tanda tanya besar di benak para karyawan yang melihatnya pagi ini. Ia datang seadanya dengan kaos putih kebesaran, celana jeans hitam, sepatu tidur karakter, dan rambut acak-acakan yang diikat asal. Wanita itu masuk begitu saja ke balik front desk kafe dan menarik lengan Riri untuk pergi, “Lit, gantikan dia sebentar,” pintanya pada seorang karyawan di samping Riri.
Karyawan bernama Lita itu mengangguk, “Baik, Mbak!” sahutnya pelan.
Seorang pelayan yang tengah membayar pesananya pada Riri turut menatap pada Maya dengan tatapan heran sekaligus aneh.
“Ada apa, Mbak?” tanya Riri dengan wajah syok, “Mbak nggak kejedot tiang, ‘kan? Berantakan banget.”
“Saya nggak butuh komentar kamu!” sembur Maya sembari menarik lengan Riri untuk masuk ke dalam ruang kerjannya.
Setelah masuk ke ruang kerja, Maya meminta Riri untuk duduk di kursi kerjanya dan membuka layar komputer. Riri segera menuruti apa yang Maya suruhkan, menyalakan komputer dan membuka laman browser.
“Ri, semalam aku tidur di apartemen Silia. Aku menemukan beberapa surat ancaman dan ponsel milik Silia.” Maya mulai menjelaskan kejadian semalam pada Riri dan menunjukan ponsel Silia yang ia bawa.
“Awalnya aku iseng buka isi ponselnya karena penasaran, terus aku nemu foto blur yang aku rasa mencurigakan. Nah, udah gitu, aku nemu video yang sama dengan apa yang aku lihat di foto blur itu. Wanita yang sama!” jelas Maya dengan buru-buru membuat gadis di hadapannya terdiam penuh kebingungan.
Riri bangkit dari duduknya, lalu menatap Maya.
“Tarik napas pelan …” titahnya yang segera Maya lakukan—menarik nafas, “Hembuskan,” imbuhnya.
Maya menghembuskan napasnya panjang dan melakukan hal tersebut sebanyak tiga kali.
“Silakan duduk! Kita bicara pelan-pelan,” ucap Riri menunjuk pada kursi di seberang meja.
“Oke,” sahut Maya dan duduk di kursi yang Riri tunjuk.
“Dari awal, Mbak,” pinta Riri pelan dan kembali duduk.
Maya kembali membuka mulutnya, menceritakan kejadian semalam tentang apa yang ia temukan di kamar adiknya. Foto, video, dan gelang hijau yang turut ia bawa.
“Apa mungkin pelakunya sama dengan orang yang mencoba menjatuhkan, Mbak?” tanya Riri menyimpulkan, “Semuanya berhubungan dengan Harij, lho, Mbak. Dugaan aku benar, kita memang tepat pada sasaran.”
“Kita tidak bisa menyimpulkannya begitu saja. Kita harus tahu, siapa wanita di foto dan video itu karena tanggal pengambilannya tepat di hari Silia meninggal, Ri.”
“Jika ini ada hubungannya dengan Harij, maka pastilah dia seseorang yang terobsesi dengan Harij atau malah sebaliknya. Aku memiliki praduga pada Pounda, itu, lho, wanita yang selalu muncul dalam rencana pertama kita.”
“Hush!” Lagi-lagi Maya menepis ucapan Riri, “Kita tidak bisa sembarangan. Apalagi dia artis. Kalau kita yang dituduh bagaimana? Kamu mau masuk penjara?”
“Kita cari tahu dulu, Mbak.”
“Oke. Kita lihat, apa Pounda memiliki tato bulan sabit di dadanya,” ucap Maya menunjuk pada layar komputer.
Riri segera menuliskan nama Pounda lengkap dengan nama kepanjangannya di kolom pencarian. Kedua matanya menatap dengan teliti setiap foto Pounda di laman penelusuran. Ada beberapa foto Pounda dengan dada terbuka dan di sana terlihat jelas gambar bulan sabit di dadanya berwarna hitam.