Maya baru tahu rasanya putus cinta, terlebih terjadi pada pria pertama yang menjadi kekasihnya setelah menjomblo sepanjang hidup. Rasa sakitnya mirip-mirip seperti ditinggalkan Silia pergi. Namun yang menjadi hal paling menyakitkan adalah ingatan tentang apa yang telah dilalui. Semua itu terekam dengan jelas dalam ingatannya dan tak bisa di lenyapkan dengan mudah.
Beberapa hari setelah kejadian itu berlalu, Maya tetap tak bisa menjalani harinya dengan gembira dan penuh kemenangan atas apa yang telah dicapainya. Usahanya memang berhasil, balas dendamnya memang terwujud sesuai rencana, tapi keberhasilan itu justru membawanya pada sebuah penderitaan dan keputusasaan. Bak senjata makan tuan. Justru sekarang yang masuk ke dalam lubang keterpurukan adalah dirinya sendiri.
Maya mulai merasa frustasi atas hidupnya. Perlahan ingatan demi ingatan di masa lalu turut menghantuinya, menjadi bayang-bayang yang tak indah lagi. Mengingatnya justru menjadi hal menyesakan dan membuatnya mendadak terserang sakit kepala. Bagaimana mungkin ingatan yang selalu terkenang indah menjadi sebuah monster yang begitu mengerikan untuk diingat.
“Mungkin, sebentar lagi aku akan jadi orang gila.” Maya bergumam seorang diri seraya menggenggam cangkir berisi coklat panas dengan kedua tangan yang saling memeluk.
“Mbak, jangan berbicara seperti itu. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.” Riri menyahut penuh khawatir.
“Aku sudah kehilangan semuanya. Apalagi yang harus aku kejar.”
“Mbak…” Riri terdengar merengek sembari meremas pelan pergelangan tangan Maya.
“Jangan seperti aku. Hiduplah dengan baik bersama orang yang mengasihimu dan kamu cintai.” Maya meletakan cangkir di ngenggamannya ke atas meja, kemudian bangkit berdiri.
“Mbak, mau ke mana?” Riri tetap menahan Maya untuk tidak pergi kemana pun.
“Aku ingin keluar sebentar.”
"Aku ikut!”
“Aku bukan orang sakit, Ri. Aku akan baik-baik saja. Nanti aku kembali, jika jam kerjamu habis naiklah ke kamarku.” Maya menyentuh pundak Riri seraya tersenyum, lalu melangkah pergi.
Riri menghela napas panjang, ia benar-benar khawatir dengan Maya. Senyumannya itu terlihat seperti sebuah paksaan yang jelas menisyaratkan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Mengingat kejadian di kantor Harij tempo lalu, wanita mana yang takan sakit hati diperlakukan seperti itu. Tadinya Riri berniat melabrak Harij setelah Maya pergi, namun urung karena ia tak ingin terlalu ikut campur dalam perasaan orang lain. Sudah cukup dengan yang terjadi pada Maya, ia tak ingin semakin memperkeruh suasana.
“Kamu ngelamun di sini? Aku cariin juga.” Rian menghampiri Riri yang tengah duduk melamun di kursi.
“Eh, kenapa? Kafe rame, ya? Aduh, maaf banget, tadi aku habis ngobrol sama Mbak Maya,” sahut Riri bergegas bangkit.