Beberapa jam setelah menunggu, akhirnya Raihan membuka kedua matanya. Maya yang tengah duduk menunggu dan melihat hal tersebut buru-buru menyebut nama pria itu dengan perasaan cemas dan haru.
“Mas, Maya panggil dokter dulu!” ucapnya buru-buru pergi keluar dari bilik kamar untuk memanggil dokter.
Seorang pria dengan jubah putih dan seorang suster muncul setelahnya dan memeriksa kondisi Raihan, lalu mengatakan bahwa Raihan sudah melewati masa kristisnya dan kondisinya bisa segera pulih. Dokter pun akan segera memindahkan Raihan menuju ruang perawatan.
“Maaf, May,” ucap Raihan dengan pelan, ia tampak bersusah payah ketika menggerakan bibirnya.
“Kenapa minta maaf? Mas nggak perlu memikirkan apapun dulu, yang penting Mas harus berjuang untuk sembuh,” sahut Maya berusaha menahan air matanya.
“Berjanjilah kalau kamu akan hidup dengan bahagia, May.”
“Pasti dong apalagi Maya punya Mas Raihan yang super sabar dan penyayang.” Maya menarik kedus sudut bibirnya keatas dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca.
“Hal apapun yang terjadi adalah takdir Allah. Kamu tidak harus menyalahkan diri kamu sendiri..”
“Mas…” Maya memotong ucapan Raihan dengan suara gemetar.
“Kamu harus kuat menghadapinya.”
Satu demi satu air mata Maya mulai turun dan hatinya terasa begitu perih dengan cabikan yang benar-benar menyakitkan.
Tiba-tiba patient monitor memekik nyaring seiring dengan suara berderak yang muncul dari mulut Raihan, Maya tampak panik dan berteriak kencang untuk memanggil dokter, namun saat ia kembali menatap Raihan, pria itu sudah menutup matanya rapat-rapat.
“Dokter! Dokter!” Maya terus berteriak, ia yakin bahwa Raihan hanya tertidur sebentar.
Dokter pun datang dan meminta Maya untuk keluar dari bilik kamar, sementara Dokter melakukan pertolongan.
“Kamu tenang, May,” pinta Pak Rama seraya menuntun Maya menuju kursi tunggu.
Beberapa menit kemudian, Dokter keluar dari balik tirai kamar dan dengan wajah penuh penyesalan ia mengatakan bahwa Raihan sudah meninggal.
“Tapi bukannya tadi Dokter bilang Mas Raihan membaik. Dokter pasti berbohong!” cerca Maya seraya menangis.
“Maaf, tapi Tuhan berkehendak lain,” sahut sang Dokter dan meninggalkan Maya.
“Dokter mau ke mana? Tolong cek lagi, Dokter. Kamu pasti bohong!” Pak Rama mencoba menenangkan putrinya dengan memeluk tubuh Maya yang perlahan jatuh ke lantai, “Ayah, tolong bilang kalau Raihan baik-baik aja. Tolong, Raihan…” isaknya di pelukan sang ayah.
“May, May… Sudah, Cantik. Ayo bangun!” Seorang wanita yang mengenakan gamis berbunga merah muda menghampiri Maya dan membantunya untuk bangun, ia memapah Maya untuk kembali duduk di kursi tunggu, “Kuatkan hati kamu dan terima semuanya dengan ikhlas,” ucapnya seraya ikut menangis, namun masih mencoba untuk mengontrol emosi yang bergejolak dalam hatinya.