Tiga hari setelah Raihan meninggal, Maya masih menetap di Bandung, namun melakukan hal yang sama layaknya dulu. Mengurung diri di kamar sendirian bertemankan sepi.
Penjelasan seseorang di rumah sakit tempo lalu masih mengiang di telinganya.
“Saya kebetulan sedang menunggu parkiran dan melihat Mas itu keluar dari toko emas. Tiba-tiba seseorang mendorongnya, lalu kotak cincin itu jatuh ke jalan dan Mas-nya langsung ngambil tanpa lihat kesana kemari. Terus dari barat ada motor lewat kencang mungkin nggak bisa rem, terus nabrak sampai si Masnya sampai kepental dan guling-guling.”
“Ini karma,” bibirnya bergerak pelan diiringi tetesan air mata, “Aku menuai apa yang sudah aku tanam. Aku menyakiti orang yang tidak bersalah dan inilah yang aku dapatkan. Lebih sakit dari apa yang dia rasakan. Lebih dalam dari apa yang sudah aku lakukan.”
“Mbak, jangan berbicara seperti itu. Semuanya sudah takdir Allah,” sahut Riri yang beberapa menit lalu masuk ke dalam kamar untuk mengantarkan sarapan.
Saat Pak Rama memutuskan pulang ke Jakarta untuk ikut pemakaman Raihan, ia sempat mengirim pesan pada Riri dan memintanya untuk menjaga Maya, begitu Riri membacanya ia langsung syok dan bergegas menuju kafe yang saat itu sudah tutup. Untungnya ia punya kunci cadangan jadi bisa masuk dengan leluasa. Saat masuk ke kamar, ia langsung menghampiri Maya yang tengah menangis sendirian di pojokan.
“Semuanya terjadi karena salahku. Andai saja aku tidak meminta Raihan untuk menikah denganku. Dia tidak akan mengalami semua itu. Harusnya sekarang dia sudah menjadi guru hebat di Kalimantan. Semuanya memang berawal dariku,” isak Maya pelan seraya menatap kontak merah berisi cincin bermata berlian.
“Jangan terus menyalahkan diri seperti ini, Mbak. Jika Mbak seperti ini, Mas Raihan pasti sangat terpukul. Mbak harus bangkit. Bukankah Mas Raihan meminta Mbak untuk tidak menyalahkan diri sendiri dan harus hidup bahagia? Itu kan yang diinginkan Mas Raihan saat terkahirnya?”
“Bagaimana mungkin aku bahagia dengan kehidupanku yang seperti ini ? Semuanya benar-benar menyakitkan. Saking menyakitkannya sampai aku ingin mati saja.”
“Harus seperti apa aku menyadarkan, Mbak. Apa Mbak tidak kasihan pada Pak Rama dan Ibu Rama? Beliau terus memikirkan Mbak sepanjang hari. Belum lagi Ibu sedang sakit, ‘kan? Jika Mbak ingin menebusnya, bukan seperti ini. Justru dengan ini … semua ini. Mbak semakin membuat beban untuk kedua orangtua, Mbak Maya. Sadar, Mbak! Hidup itu harus terus berjalan dan kita harus berjuang untuk itu. Mbak harus kuat! Bukankah selama ini Mbak yang selalu meyemangatiku. Memberiku kekuatan untuk tetap bertahan apapun kondisinya, tapi kenapa Mbak sendiri tidak bisa? Berbicara saja tidak cukup, Mbak. Buktikan!”