Maya membuka kedua matanya dengan panik. Ia segera menyingkap selimut yang menutupi setengah tubuhnya dan turun dari ranjang. Menatap sekitar, Maya mencoba menebak keberadaaanya. Ia pun mengecek pakaiannya yang tampak masih lengkap. Di salah satu nakas terlihat satu kantong keresek putih berisi obat yang sempat ia beli di apotek.
Penasaran dengan kejadian semalam, Maya mencoba mencari tahu. Lengannya menarik handle pintu dan berjalan keluar. Matanya menatap sekitar ruangan yang terhias dengan aksen cukup mewah, apalagi rumahnya yang luas dan besar.
Setelah melewati ruang tengah, ia melihat keluar jendela yang menjadi tembok pemisah ruang dalam dan taman belakang rumah. Di sana ia menatap sepasang suami istri yang tengah bermain dengan bayinya. Maya mencoba melangkah ke dekat mereka dengan hati-hati. Kedua matanya menatap dengan menyelidik kedua orang itu. Sampai akhirnya ia sadar siapa yang tengah ia lihat.
Kepingan masa lalu seketika muncul menjadi bayangan di depan matanya, terputar dengan sangat jelas.
“Ini mimpi,” gumamnya seraya mengedipkan mata, mencoba melihat dengan lebih jelas. Tiba-tiba air matanya jatuh menyusuri pipinya dan Maya pun bergegas mengusap wajahnya yang basah.
Tanpa Maya sadari pria itu menghampirinya dengan senyuman, “Kamu baik-baik saja, ‘kan?”
Mendengar suaranya, Maya segera tersadar, “Baik, terima kasih. Maaf aku sudah merepotkanmu,” sahutnya dengan cepat berbalik untuk pergi.
Jangan menangis, bisik Maya dalam hati seraya kembali mengusap kedua pipinya yang mulai basah lagi.
“May, tunggu!” tahan pria itu menyusul langkah Maya.
Maya mempercepat langkah kakinya menuju pintu utama.
“Maaf? Aku tidak akan memaafkan orang yang sudah mempermainkanku.” Suara itu tiba-tiba kembali mengiang di dalam telinga Maya setelah sekian lama ia berusaha melupakannya. Bahkan sekarang, setiap katanya seperti berputar-putar di dalam pikirannya. Kamu harus sadar, May, bisiknya dalam hati.
“May!” Pria itu berhasil menarik lengan Maya, “Aku bilang tunggu sebentar!”
Maya menyerah, dia menghentikan langkah kakinya dan menarik lengannya dengan kasar, “Ada apa?” tanyanya dengan suara pelan. Ia tidak ingin pria itu tahu bahwa ia sedang menangis.
“Kenapa buru-buru? Apa kamu tidak ingin menjelaskan sesuatu padaku?”
Maya menarik napasnya pelan, meredam tangisnya untuk beberapa saat, “Apa yang harus aku jelaskan? Bukankah kamu sudah tidak mau memaafkanku? Harusnya kamu tidak perlu menolongku semalam. Aku sudah mendapatkan karma atas perbuatanku dulu.”
“Apa maksudmu? Keras kepalamu itu memang tidak pernah berubah rupanya.”
Maya terdiam membisu beberapa saat. Ia kembali mengusap kedua pipinya, lalu berbalik untuk menatap pria di hadapannya ini, “Kamu ingin aku menjelaskan apa? Aku… Saat itu aku benar-benar tidak tahu penyebab kematian adikku yang aku rasakan hanyalah rasa sakit. Aku sudah kehilangannya selama lima belas tahun dan ketika waktu datang untuk mempertemukan kami…” Maya mulai terisak pelan, air matanya bergulir begitu saja.”… Aku orang pertama yang menemukannya sudah tiada.”
Pria itu mengacungkan jari telunjuknya pada bibir Maya, membuat si empunya terdiam.
“Ada yang harus sama-sama kita jelaskan di sini. Bisakah kita bicarakan saat sarapan? Aku tahu kamu pasti butuh energi.”
“Aku rasa kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi. Terima kasih!” tandasnya bersiap kembali pergi, namun spontan pria itu menarik lengannya hingga terhempas tepat di dadanya yang bidang. Ia melingkarkan kedua tangannya di tubuh Maya. Untuk beberapa saat Maya menikmatinya karena jujur saja, ia pun sangat ingin melakukan hal ini tapi mengingat apa yang dilihatnya beberapa menit lalu, Maya bergegas melepaskan tubuhnya, “Apa yang kamu lakukan? Kamu sudah gila, ya!” cercanya dengan wajah yang mulai memerah.