"Assalammu'alaikum, Bi!" Seorang gadis cantik dengan tubuh tinggi semampai berdiri di depan gerbang sebuah rumah. Di sampingnya terlihat koper besar berwarna hitam. Gadis itu sudah berdiri di sana selama tiga puluh menit. Menunggu dengan jutaan kembang api yang siap meledak, membayangkan dapat kembali memeluk adiknya.
Gadis itu adalah Maya Nuril Ashar, salah satu putri dari Ibu dan Bapak Ashar yang sudah meninggal lima belas tahun silam. Sekarang, ia kembali ke Bandung untuk bertemu Silia, adiknya. Kenangan tentang perpisahan itu sudah dikuburnya dalam-dalam. Ia sudah merelakan semuanya karena sekarang ia akan bertemu dengan Silia, mereka akan kembali bersama dan Maya pastikan, tidak ada seorang pun yang mampu memisahkan mereka lagi.
"Assalammu'alaikum, Bi!" teriaknya lebih keras.
"Neng, cari siapa?" sapa seseorang membuatnya menoleh. Tampak seorang wanita dengan daster merah menatapnya heran.
Maya tersenyum ramah, "Mau cari Pak Ashril. Saya keponakannya."
"Astagfirullah, Neng, emang nggak tahu kalau Pak Ashril beserta istrinya sudah meninggal dua bulan yang lalu?"
Bagai mendapat samabaran petir di tengah hari, Maya terdiam menatap wajah si ibu. Lengannya bergetar meraih besi gerbang.
"Terus adik saya di mana, Bu? Silia masih tinggal di sini, 'kan?" Maya bertanya dengan bibir gemetar.
"Neng Sisil sudah pindah sebulan yang lalu, kalau nggak salah tinggal di apartemen sana!" Ibu itu menunjukan sebuah jalan lurus ke arah barat, "saya dengar mau menikah, tapi keburu Pak Ashril meninggal."
Maya mencoba menenangkan dirinya. Ia kembali berdiri dengan tegak.
"Apartemen nomor berapa, Bu? Tolong kasih tahu saya!" Maya mulai meneteskan air matanya, membayangkan situasi yang harus dihadapi adiknya.
"Kalau nggak salah, Neng Silia pernah bilang tinggal di tower rubi," Ibu itu menatap ke langit mencoba mengingat, "lantai tiga nomor dua empat."
Maya mengangguk menatap Ibu berdaster merah tersebut, "Terima kasih, Bu. Saya pamit, assalammu'alaikum."
"Hati-hati, Neng. Wa'alaikumsallam."
Maya melangkah pergi membawa serta kopernya untuk menemui Silia. Dia berharap dengan kedatangannya, Silia dapat kembali tersenyum bahagia.
"Saya dengar mau menikah, tapi keburu Pak Ashril meninggal."